SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN NEGARA-NEGARA INDEPENDEN BAGIAN BARAT BAGDHAD ( IDRISIYAH, AGLABIAH, THULUNIYAH DAN IKHSIDIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinasti-
dinasti kecil di sini yang dimaksud adalah semua wilayah yang biasanya
dikepalai oleh seorang wali atau amir ( gubernur ) atas penunjukkan pemerintah
pusat Baghdad. Hubungan antara keduanya secara struktural bersifat vertikal-
konsultatif. Wilayah menjalankan pemerintahannya sejalan dengan pemerintah
pusat. Wilayah harus mengirimkan pajak tahunan kepada pusat dalam jumlah yang
sudah disepakati. Selanjutnya pusat memberikan jaminan otonomi terhadap wilayah.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, wilayah tersebut sedikit demi sedikit
memperoleh otonomi penuh atau sengaja melepaskan diri dari pemerintahan pusat
( disintegration ) sehingga oleh para sejarawan disebut
dinasti- dinasti kecil ( smaller dynasties ).
Oleh
karena dinasti- dinasti baru tersebut secara geografis terletak di sebelah
Barat dan Timur pemerintahan pusat ( Baghdad ), maka sebagian sejarawan
menyebutnya dinasti- dinasti kecil di Barat dan Timur Baghdad. Sejarawan lain
menyebutnya dinasti- dinasti Persia, dinasti- dinasti Turki, dan dinasti-
dinasti Arab yang melihat berdasarkan atas asal- usul etnis dan wilayah
kekuasaannya. Sementara sejarawan lain melihatnya dari satuan wilayah
kekuasaannya; Mesir, Afrika Utara, Spanyol, atau Iran.
Dalam makalah sederhana ini penulis
menggunakan klasifikasi pertama, yaitu dinasti- dinasti dibagi menjadi dua
kelompok besar; Barat dan Timur Baghdad. Kelompok Barat meliputi dinasti-
dinasti Idrisiyah, Aghlabiyah, Thuluniyah, Iksidiyah, dan Hamdaniyah.
Pembahasan dalam makalah ini hanya fokus pada tiga dinasti saja, yakni
Thuluniyah, Ikhsidiiyah, dan Hamdaniyah. Bagaimana latar belakang berdirinya,
proses perkembangan dan kehancuran serta hal- hal penting lainnya akan
diuraikan sebagaimana berikut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kemunculan Dinasti-dinasti Kecil di Baghdad.
2.
Bagaimana
perkembangan peradaban islam pada masa pemerintahan negara-negara Independen
bagian barat Bagdad ( Idrisiyah, Aglabiah, Thuluniyah, dan Ikhsidiyah ).
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEMUNCULAN
DINASTI-DINASTI KECIL DI BAGHDAD
Kemunculan dinasti-dinasti kecil
paling sedikit mempunyai dua pola. Pertama,pemimpin lokal
melakukan suatu pemberontakan yang berhasil dan menegakkan kemerdekaan
penuh. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi
gubernur oleh khalifah menjadi sedemikian kuatnya sehingga ia tidak dapat
digantikan dan menunjuk anaknya sebagai pengganti. Atas dasar itu, tidak heran
jika dalam waktu yang relative singkat, baik di sebelah barat maupun timur
Baghdad bermunculan dinasti-dinasti yang bersifat otonom dan lepas dari kontrol
langsung Baghdad[1]. Faktor-faktor
yang mendorong berdirinya dinasti-dinasti kecil ini, yaitu :
1.
Adanya persaingan jabatan khalifah
di antara keluarga raja dan munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab dan
non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan Persia.
2.
Tumbuhnya dinasti-dinasti yang
memisahkan diri dari kekuasaan pemerintahan
pusat Baghdad ini tidak terlepas dari persaingan antara Bani Hasyim dan Bani
Umayah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim[2]
B. Perkembangan
Peradaban Islam Pada Masa Pemerintahan Negara-Negara Independen Bagian Barat Bagdad
( Idrisiyah, Aglabiah, Thuluniyah, Dan Ikhsidiyah ).
1.
Dinasti Idrisiyah (789-926
M)
Dinasti ini didirikan oleh salah
seorang penganut syi’ah, yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172 H./789 M. Dinasti
ini merupakan dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha
memasukkan syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sanagt halus. Muhammad bin Idris merupakan salah
seorang keturunan Nabi Muhammad saw, yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi
Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah.
Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz terhadap
Abbasiyah pada tahun 169/786. Dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika
Utara, di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zenata di
Maroko Utara menerimanya sebagai pemimpin mereka. Berkat dukungan yang sangat
kuat dari suku Barbar inilah, dinasti Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan
dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.
Ada dua alasan mengapa Dinasti
Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena adanya
dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang sangat
jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit
untuk ditaklukkannya. Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun
Ar-Rasyid, ( menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa kedudukannya mulai terancam
dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, oleh karena itu Harun Ar-Rasyid
merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun, faktor
geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun
Ar-Rasyid memakai alternatife lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata
bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah abbasiyah
sehingga Sulaiman mampu membnuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya
Barmaki kepada khalifah Harun Ar-Rasyid.
Terbunuhnya Idris tidak dapat membuat
kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah
bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan meraka sebagai kerajaan yang merdeka dan
independen. Dikabarkan
pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan
ketika seorang hamba tersebut melahirkan, kaum Barbar memberikan nama Bayi
tersebut dengan nama Idris dan
mengikrarkannya sumpah setia kepadanya sebagimana yang pernah diikrarkan kepada
bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan
jejak bapaknya (idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris 11.
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran
arab yang berhasil dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan
politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci,
tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi Hasan dan Husain
bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 di kota ini, telah didirikan
sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M),
dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang
saudaranya, walupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam
supermasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya.
Pada masa Ali bin Muhammad (836-849 M),
terjadi konflik antarkeluarga dengan kasus yang klasik, yaitu terjadi
penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ke tangan
saudaranya sendiri, yaitu Yhaya bin Muhammad.
Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi
imigran dari Andalusia dan daerah afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu
pesat, baik dari segi pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gudang-gudang
megah.
Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan
yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II dalam mengatur pemerintahannya,
sehingga terjadilah pembagian wilayah kekuasaan. Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral
terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir
oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya
pada tahun 866 M.
Dalam suasana yang mengecewakan rakyat,
seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman bin Abi Sahl Al-Judami mengambil
kesempatan untuk menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan.
Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar
berhasil menguasai wilayah Kawariyyer (qairawan) dan memulihkan ketentraman
dengan bantuan ayahnya. Pada
masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi
tentram dan aman
Yahya IV ini berhasil mempersatukan
kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang lainnya, dan
sejak itu dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuasaan
besar, yaitu Bani Umayyah dari spanyol dan dinasti Bani Fatimiyah dari Mesir
dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara.
Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez
dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu Idris II, yang
bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Akan tetapi, ia
kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehingga
kekuaaanya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 926 M, sedangkan anak-anak
dan saudara-saudaranya mengundurkan diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar
Gumara).
Ada juga satu riwayat yang menerangkan
bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebebkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir
yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak,
sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara pilitis. Perpecahan tersebut merupakan faktor yang membahayakan keberadaan
dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan, datang pula serangan dari
dinasti Fatimiah.
Pada masa kepemimpinan Yahya III,
dinasti Idrisiyah ditaklukkan oleh Fatimiyah dan Yahya terusir dari kerajaan
hingga wafatnya di Madinah. Dengan
berakhirnya Yahya, berakhirnya pula riwayat dinasti Idrisiyah[3]. Setelah Imam Ali Ibn Abi Thalib
terbunuh, keturunan Ali ra. Terus berjuang untuk memperoleh kekuasaan. Di
antara Husen Ibn Ali di Madinah pada zaman Dinasti Umayah.
2.
Disasti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika
Utara yang berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M).Wilayah
kekuasaannya meliputi Ifriqiyah, Algeria dan Sisilia.Dinasti ini didirikan oleh
Binu Aghlab.
Aghlabiyah memang merupakan Dinasti kecil pada masa
Abbasiyah, yang para penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab,
sehingga Dinasti tersebut dinamakan Aghlabiyah.Awal mula terbentuknya Dinasti
tersebut yaitu ketika Baghdad di bawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian
Barat Afrika Utara, terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya.
Pertama dari Dinasti Idris yang beraliran Syi’ah dan yang kedua dari golongan
Khawarij.
Dengan adanya dua ancaman tersebut terdoronglah Harun
ar-Rasyid untuk menempatkan balatentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan
Ibrahim bin Al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim
bin al-Aghlab mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut
dihadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal
itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan dan memerintah wilayah tersebut,
akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000
dinar. Harun ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti kecil
(Aghlabiyah) yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi penuh.
Meskipun demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad[4].
Sehinggah akhirnya berdirilah dinasti Aghlabiyah.
Pendiri Dinasti ini adalah Ibrahim bin al-Aghlab pada tahun
800 M. Pada tahun itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh
Harun al-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar
dan meliputi hak-hak otonom yang besar. Untuk menaklukkan wilayah baru
dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak
seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah pemberian Dinasti Aghlabiyah berkuasa
kurang lebih dari satu abad, mulai dari tahun 800-909 M.
Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama ayah Amir yang
pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aglab. Ia adalah seorang pejabat Khurasan dalam
militer Abbasiyah. Pada tahun 800 M. Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir)
di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
Karena ia sangat pandai menjaga
hubungan dengan Khalifah Abbasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar,
maka Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang
besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa
campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika
Utara dengan Bagdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh
pemerintahan Abbasiyah[5]. Jadi Ibrahimi
diberikan kekuasaan karena kemahirannya menjaga hubungan baik dengan Khalifah
Abbasiah.
Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak
yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah
Ziyadatullah I, Aghlabiyah dapat merebut pulau yang terdekat dari Tunisia,
yaitu Sisilia dari tangan Byzantium 827 M, dipimpin oleh panglima Asad bin
Furat, dengan mengerahkan panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda
dan 10.000 orang pasukan jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar. Ini juga
peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad karena itu, ia meninggal
dalam pertempuran. Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sicilia
juga bertujuan untuk berjihad melawan orang-orang kafir.Wilayah tersebut
menjadi pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa Kristen.
Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi
lautnya yang menjelajahi pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa
seperti pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan lpen.Selain itu juga
berhasil menaklukan kota-kota pantai Itali, Brindisi, Napoli, Calabria,
Totonto, Bari, dan Benevento.Dan pada tahun 868 M, mampu menduduki Malpa. Dengan
berhasilnya penaklukan-penaklukan di atas Dinasti Aghlabiyah menjadi Dinasti
yang kaya, sehingga para penguasa Aghlabiyah antusias dalam bidang pembangunan.
Keberhasilan penguasaan seluruh pulau
Sisilia inilah yang membuat Aghlabiyah unggul di Mediterania Tengah.Setelah
Aghlabiyah melanjutkan serangan-serangannya ke pulau lainnya dan pantai-pantai
di Eropa, termasuk berhasil mmenguasai kota-kota pantai Italia Brindisi (836/221
H.) Napoli (837M), Calabria (838 M),
Toronto (840 M ), Bari (840 M), dan Benevento (840 M). Karena tidak tahan
terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada Bandar-bandar
Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yonanes VIII (872– 840 M) terpaksa minta
perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun
kepada Aghlabiyah.
Pasukan Aghlabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di
pantai Yugoslavia (890 M), Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan
Mayorka, bahkan mengusai kota Portofino di pantai Barat Italia (890), kota
Athena di Yunani-pun berada dalam jangkauan penyerangan mereka. Dengan
keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aghlabiyah kaya
raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia.Ziyadatullah I
membangun masjid Agung Qairuan, sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung
Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara.Tidak
cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian
(khususnya di Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur), demikian pula
perkembangan arsitektur, ilmu, seni dan kehidupan keberagamaan.
Selain sebagai ibu kota Dinasti
Aghlabiyah, Qairuan juga sebagai pusat penting munculnya mazhab Maliki, tempat
berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti ahnun yang wafat (854 M) pengarang
mudawwanat, kitab fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat (901 M), Abu
Zakariah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M). Karya-karya para ulama-ulama pada
masa Dinasti Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid Agung Qairuan[6].
a.
Peninggalan-peninggalan Bersejarah
Dinasti Aghlabiah
Aghlabiyah adalah pembangun yang penuh semangat. Diantara
bangunan-bangunan peninggalan Aghlabiah adalah:
1)
Pembangunan kembali Masjid Agung Qayrawan oleh ZiyadatullahI
2)
Pembangunan Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
3)
Pembangunan karya-karya pertanian dan irigasi yang
bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah selatan yang kurang subur.
b.
Kemunduran Dinasti Aghlabiyah
Menjelang akhir abad IX, posisi Aghlabiah di Ifqriqiyah
menjadi merosot. Hal ini disebabkan karena amir terakhirnya
yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan (berfoya-foya), dan seluruh
pembesarnya tertarik pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah, Abu Abdullah.
Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh yang cukup besar di
Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer, dan Dinasti Aghlabiyah
dikalahkan oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III di usir ke Mesir setelah
melakukan upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiah
untuk menyelamatkan Aghlabiah[7]. Dan akhirnya
dinasti Aghlabiyah mundur.
3.
Dinasti Thuluniyah ( 868- 901 M ).
Dinasti Thuluniyah mewakili dinasti
lokal pertama di Mesir dan Suriah yang memperoleh otonomi dari Baghdad. Dinasti
ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun. Ahmad Ibn Thulun seorang prajurit Turki.
Seperti orang- orang Turki lainnya, ia memperoleh peluang besar untuk menjabat
di lingkungan istana. Ayah Ibn Thulun menjabat sebagai komandan pegawai istana.
Ibn Thulun sudah barang tentu dibesarkan di lingkungan militer yang keras dan
ketat. Inilah yang melatarbelakangi garis politik Ibn Thulun selanjutnya[8]. Karena dari kecil lingkungannya
adalah lingkungan militer.
Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai
sosok yang gagah dan berani, dia juga seorang yang dermawan, hafidz, ahli
dibidang sastra, syariat dan militer[9].
Sehinggah Ahmad Ibn Thulun sangat terkenal dengan kemahirannya.Pada mulanya,
Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah, lalu menjadi
gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah[10]. Pada abad ke 9
Masehi menjadi kebiasaan para wali ( gubernur ) untuk tetap tinggal di istana
Baghdad, sementara tugasnya dilaksanakan oleh para wakilnya. Tahun 868 M, Ibn
Thulun dikirim ke Mesir sebagai wakil wali.
Karena ia bekerja secara efisien,
populer dan bersedia tinggal di Mesir maka para gubernur Mesir berikutnya tidak
menggantikannya. Pada tahun ini dia resmi diangkat oleh khalifah al-Mu’taz
sebagai wali Mesir. Di saat Baghdad mengalami krisis yang menyebabkan khalifah
al- Mu’taz meninggal, Ibn Thulun memanfaatkan situasi ini untuk melepaskan diri
dari kekuasaan Baghdad[11].
Dalam membangun negerinya mula - mula
ia menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Setelah situasi relatif
stabil, beralihlah perhatiannya kepada pembangunan bidang ekonomi, irigasi
diperbaiki, pertanian ditingkatkan, perdagangan digiatkan sehingga pemasukan
meningkat. Kemudian dalam bidang keamanan dia membangun angkatan perang dari
oarng - orang Turki Negro dan lainnya. Dengan kuatnya militer, Ibn Thulun
melakukan ekspansi ke Syam[12]. Ibn Thulun melakukan perkembangan setelah
situasi relatif
stabil.
Setelah Ibn Thulun, kepemimpinan
Mesir dilanjutkan oleh keturunannya, Khumarawaih, Jaisy, Harun dan terakhir
Syaiban. Di bawah kepemimpinan Khumarawaih, dinasti Thuluniyah mencapai
kejayaannya. Khalifah al Mu’tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah kekuasaan
pada Thuluniyah meliputi Mesir, Suriah, sampai gunung Taurus dan Mesopotamia,
kecuali Mosul. Untuk menjalin hubungan baik dengan pemerintah Abbasiyah,
khalifah al Mu’tadid dinikahkan dengan putri Khumarawaih.
Pada akhir pemerintahan Khumarawaih
dinasti ini tampak mulai melemah karena kemewahan hidup Khumarawaih sendiri dan
ketidakmampuannya mengendalikan administrasi dan tentara. Setelah dia
meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh putranya, Jaisy yang hanya memerintah
satu tahun. Jaisy digulingkan oleh saudaranya, Harun yang kemudian memerintah
selama sembilan tahun. Kemudian Harun tewas ketika meletus pemberontakan di
Mesir. Pemerintahn berikutnya dipegang oleh pamannya, Syaiban yang hanya
memerintah beberapa bulan. Pada tahun ini juga dinasti Thuluniyah kembali
direbut oleh pemerintahan Abbasiyah.
Ketidakmampuan wali terakhir Thuluniyah mengendalikan sekte-sekte Qaramithi di
gurun Syiria membuat khalifah mengirimkan tentara untuk menaklukkan Syiria dan
kemudian merebut Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke
Baghdad. Setelah ditaklukkan , dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur[13].
Jadi runtuhnya dinasti Thuluniyah akibat kemunduranyya dalam memimpin sehinggah
diambil ahli oleh pemerintahan Abbasiyah.
Dinasti Thuluniyah juga ikut dalam
memperkaya peradaban Islam. Contoh kemajuan prestasi dinasti Thuluniyah adalah
dalam bidang arsitektur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun yang
megah, pembangunan rumah sakit yang memakan biaya cukup besar sampai 60.000
dinar, dan bangunan istana al Khumarawaih dengan balairung emasnya. Kemajuan
prestasi bidang lainnya adalah di bidang militer. Thuluniyah mempunyai 100.000
prajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa
Negro. Thuluniyah membangun benteng- benteng yang kokoh di atas pulau ar
Raudah. Pada masa itu juga banyak dibangun irigasi sebagai sarana pertanian
yang terletak di lembah sunagi Nil[14]. Itulah perkembangan yang dilakukan
dinastu Thuluniyah pada peradaban islam.
4.
Dinasti Iksidiyah ( 935- 965 M )
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn
Tughi yang diberi gelar al- Ikhsidi (pangeran) pada tahun 935
M. Muhammad Ibn Tughi adalah perwira Turki yang diangkat menjadi seorang
gubernur di Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar Radi atas jasanya mempertahankan
dan memulihkan keadaaan wilayah Nil dari serangan Fatimiyah yang berpusat di
Afrika Utara[15]. Oleh
karena jasanya maka dijadikan seorang gubernur oleh Abbasiah.
Strategi pertama yang ia lakukan adalah
memperkokoh angkatan perang dan mengajukan permohonan perluasan wilayah
kekuasaan dengan syarat dia tetap tunduk dan setia pada Baghdad. Akhirnya,
permohonan tersebut dikabulkan. Dia diberi wewenang wilayah Syam, disamping
semakin memperoleh kepercayaan, baik dari masyarakat maupun khalifah karena
keberhasilannya dalam mengembangkan perekonomian rakyat dan mengatasi gerakan
Fatimiyah[16]. Kerena keberhasilannya dia dengan
mudah mendapatkan kepercayaan, sehinggah merupakan salah satu keuntungan untuk
membuat semakin berhasil.
Sewaktu Iksidi wafat, kedua putranya
belum dewasa. Oleh karena itu, kekuasaan dilimpahkan kepada gurunya, Kafur al
Ikhsidi. Kafur memproklamirkan diri sebagai wali. Berkat kepandaian Kafur,
gerak maju Fathimi di sepanjang pantai Afrika Utara dapat ditahan,
begitu pula dinasti Hamdani di Syiria Utara. Hanya setelah meninggalnya Kafur,
Iksidiyah menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu al Fawarisaris Ahmad
Ibn Ali yang menerima tahta setelah Kafur tidak bertahan lama karena
kepemimpinannya yang sangat lemah. Sehingga serangan yang terus menerus
dilancarkan oleh Fatimiyah terhadap pemerintahnnya membuat dinasti ini tidak
berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Sehingga dinasti
ini dapat ditaklukkan oleh Fatimiyah.
Pada masa dinasti Iksidiyah ini
pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperti
mengadakan diskusi- diskusi keagamaan yang berpusat di masjid- masjid. Juga
dibangun sebuah pasar buku besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang
dikenal denagn nama Syuq Al Waraqin. Lahir pula ilmuwan besar
seperti Abu Ishaq al Mawazi, Hasan Ibn Rasyid al Mishri, Muhammad Ibn Walid al
Tamimi, Abu Amar al Kindi dan al Tayid al Mutanabi. Di samping itu, dinasti ini
mewariskan bangunan- bangunan megah seperti sebuah Istana al Mukhtar di Raudah
dan taman yang dikenal dengan Bustan al Kafuri, di samping itu
didirikan sebuah gelanggang yang disebut Maydan al Ikhsidi[17].
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah dikemukakan
di atas maka dapat ditarik kesimpulan beberapa kesimpulan, bahwa munculnya dinasti-dinasti
disebabkan beberapa faktor diantaranya :
1.
Adanya persaingan jabatan khalifah
di antara keluarga raja dan munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab dan
non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan Persia.
2.
Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekuasaan
pemerintahan pusat Baghdad ini tidak terlepas dari persaingan antara Bani
Hasyim dan Bani Umayah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani
Hasyim.
Perkembangan
peradaban islam pada masa pemerintahan negara-negara independen bagian barat Bagdad:
1. Dinasti Idrisiyah
Dinasti Idrisiyah adalah dinasti kecil pada masa bani
Abbasiyah yang terletak ditepi barat Baghdad. Dinasti Idrisiyah didirikan oleh penganut syi'ah, yaitu
Idris bin Abdullah keturuna Nabi cicit dari Hasan pada tahun 172 H / 789 M
dengan dukungan kaum Bar-bar, Fez adalah ibukota dari Dinasti Idrisiyah. Dinasti
Idrisiya mencapai kejayaan pada masa Idrisiyah II. Keruntuhan
dinasti Idrisiyah selain dari faktor internal juga dari faktor ekternal yaitu terkepung
dinasti Idrisiyah di antara Fatimiyah Mesir dan Umayyah Spanyol
2. Dinasti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu
Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama kurang lebih l00 tahun
(800-909 M). Dinasti ini didirikan dan Nama Dinasti Aghlabiyah ini
diambil dari nama ayah Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aghlab 800-812 M. Ifriqiyah adalah ibukota Dinasti
Aghlabiyah. Dinasti
Aghlabiyah mencapai kejayaan pada masa awal-awal pemerintahan dengan perluasan wilayahnya, termasuk
pembangunan. Kemunduran Dinasti ini dikarenakan
nafsu keduniaan sang Ziyadatullah III yang sangat tinggi sehingga pada akhirnya
dapat ditumbangkan juga oleh Dinasti Fatimiyah.
3. Dinasti Thuluniyah
Dinasti Thuluniyah mewakili dinasti
lokal pertama di Mesir dan Suriah yang memperoleh otonomi dari Baghdad. Dinasti
ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun. Dinasti
Thuluniyah juga ikut dalam memperkaya peradaban Islam. Contoh kemajuan prestasi
dinasti Thuluniyah adalah dalam bidang arsitektur, telah berdiri sebuah masjid
Ahmad Ibn Thulun yang megah, pembangunan rumah sakit yang memakan biaya cukup
besar sampai 60.000 dinar, dan bangunan istana al Khumarawaih dengan balairung
emasnya. Kemajuan prestasi bidang lainnya adalah di bidang militer. Thuluniyah
mempunyai 100.000 prajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak
belian dari bangsa Negro. Thuluniyah membangun benteng- benteng yang kokoh di
atas pulau ar Raudah. Pada masa itu juga banyak dibangun irigasi
sebagai sarana pertanian yang terletak di lembah sunagi Nil.
4.
Dinasti
Ikhsidiyah
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn
Tughi yang diberi gelar al- Ikhsidi (pangeran) pada tahun 935
M. Pada masa dinasti Iksidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia
keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi- diskusi keagamaan
yang berpusat di masjid- masjid. Juga dibangun sebuah pasar buku besar sebagai
pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal denagn nama Syuq Al Waraqin.
Lahir pula ilmuwan besar seperti Abu Ishaq al Mawazi, Hasan Ibn Rasyid al Mishri,
Muhammad Ibn Walid al Tamimi, Abu Amar al Kindi dan al Tayid al Mutanabi. Di
samping itu, dinasti ini mewariskan bangunan- bangunan megah seperti sebuah
Istana al Mukhtar di Raudah dan taman yang dikenal dengan Bustan al
Kafuri, di samping itu didirikan sebuah gelanggang yang disebut Maydan
al Ikhsidi.
B.
KRITIK dan SARAN
Disadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, didalamnya terdapat banyak kesalahan, kekeliruan dan kekurangan
oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran dari teman-teman sekalian
untuk membuat makalah ini kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Adapun saran,
semoga tulisan ini dapat dijadihkan pelajaran dan bermanfaat bagi pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Bosworth,
C.E. Dinasti Dinasti Islam.
Bandung: Mizan, 1993.
Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Hakim, Moh.
Nur, Sejarah Dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press, 2004.
K. Hitti, Pilip. History
Of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2006.
_________. History of the Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2010.
http. file: ///D:/ Akademis/
semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/
dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html.
Maslani. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Insan
Mandiri, 2010.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
[4]Pilip K. Hitti, History of the Arab, Terj. R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2010), h. 570.
[5]http.
file: ///D:/ Akademis/ semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/
dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html.
[6]http.
file: ///D:/ Akademis/ semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/
dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html