PANDANGAN
AL-GHAZALI TERHADAP FILSAFAT
Oleh: Zainal Arifin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Mengkaji filsafat Islam
tidaklah semudah membalikkan tangan. Karena di dalam mempelajari filasafat
Islam terdapat muatan historis dan teologis. Secara historis, tarik-menarik kepentingan bahwa
orisinalitas filsafat berasal dari Yunani atau Islam adalah problem fakta yanmg
tidak dapat dihindari.
Di samping itu
banyaknya filosof-filosof, baik Barat maupun Islam yang memiliki pemahaman yang
berbeda-beda dalam memahami filsafat. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi
banyak bermunculan filosof-filosof di berbagai belahan dunia dan memiliki
pemahaman sendiri-sendiri tentang filsafat. Di kalangan umat Islam sendiri juga
terjadi hal-hal yang semacam itu.
sehingga antara para filosof, ada sebagian yang menguatkan pendapat yang lain,
tetapi ada juga yang menyangkal bahkan menganggap keliru pendapat filosof yang
lain.
Ketika filsafat Islam
dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai
filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali,
dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak
saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga
karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini
penulis akan mencoba menjelaskan tentang salah satu filosof Islam, yaitu
al-Ghazali, yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan
kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup dan karya al-Ghazali?
2.
Bagaimana pandangan al-Ghazali terhadap filsafat yang berkembang di
zamannya?
3.
Bagaimana perkembangan filsafat di dunia timur pasca al-Ghazali?
BAB II
PANDANGAN
AL-GHAZALI TERHADAP FILSAFAT
A.
Riwayat hidup
dan karya al-Ghazali
Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad at-Thusi al-Ghazali adalah nama lengkap dari
Imam al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H. di Thus Khurasan, suatu tempat kira-kira
sepuluh mil dari Naizabur Persia. Dan meninggal
dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. [1]
Di masa
hidupnya, al-Ghazali dikenal sebagai seorang teolog dan filosof besar. Di samping
itu juga masyhur sebagai seorang ahli fiqih dan tasawuf yang tidak ada tandingannya
di zaman itu, sehingga karya tulisnya yang berupa kitab “Ihya’ ‘Ulumuddin”
dipakai oleh seluruh dunia Islam hingga kini.[2]
Ayahnya
tergolong orang yang shaleh dan hidup secera sederhana. Kesederhanaanya dinilai
dari sikap hidup yang tidak mau makan kecuali atas usahanya sendiri. Ayahnya
pada waktu senggang sering berkesempatan berkomunikasi dengan ulama pada
majelis-majelis pengajian. Ia amat pemurah dalam memberikan sesuatu yang
dimiliki kepada ulama yang didatangi sebagai rasa simpatik dan terima kasih.
Sebagai orang yang dekat dan menyenangi ulama, ia berharap anaknya kelak
mejadi ulama yang ahli agama serta member nasehat pada umat.[3]
Al-Ghazali,
selain mendapat bimbingan dari ayahnya, dibimbing pula oleh seorang sufi
kenalan dekat ayahnya. Di samping mempelajari ilmu tasawuf dan mengenal
kehidupan sufi, beliau juga mendapat bimbingan studi al-Qur’an dan hadis, serta
menghafal syair-syair. Ketika sufi pengasuh al-Ghazali merasa kewalahan dalam
membekali ilmu dan kebutuhan hidupnya, ia dianjurkan untuk memasuki salah satu
sekolah di Thus dengan beasiswa.[4]
Pengembaraan
al-Ghazali dimulai pada usia 15 tahun. Pada usia ini, Al-Ghazali pergi ke
Jurjan untuk berguru pada Abu Nasr al-Isma’ili. Pada usia 19 atau 20 tahun, al-Ghazali
pergi ke Nisabur, dan berguru pada al-Juwayni hingga ia berusia 28 tahun. Selama
di madrasah Nisabur ini, al-Ghazali mempelajari teologi, hukum, dan filsafat.[5]
Sepeninggal
Al-Juwayni, al-Ghazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu menjadi gudang
para sarjana di sinilah beliau berjumpa dengan Nizam al-Mulk. Kehadiran al-Ghazali
disambut baik oleh Wazir ini, dan sudah bisa dipastikan bahwa oleh karena kedalaman
ilmunya, semua peserta mengakui kehebatan dan keunggulannya. Dengan demikian,
jadilah al-Ghazali “Imam” di wilayah Khurasan ketika itu. Beliau tinggal di
kota Mu’askar ini hingga berumur 34 tahun. Melihat kepakaran al-Ghazali dalam
bidang fiqih, teologi, dan filsafat, maka Wazir Nizam al-Mulk mengangkatnya
menjadi “guru besar” teologi dan “rector” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad,
yang telah didirikan pada tahun 1065. Pengangkatan itu terjadi pada 484/Juli
1091. Jadi, saat menjadi guru besar (profesor), al-Ghazali baru berusia
34 tahun.[6]
Sebagai seorang
ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis
kitab. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Karya
al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, namun di sini hanya sebagian
yang dapat disebutkan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.[7]
1.
Maqashid al-Falsafah (Tujuan-tujuan
Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah
filsafat;
2.
Tahafut al-Falasifah (Kekacauan
Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu Beliau berada di Baghdad
tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, al-Ghazali mengecam
filsafat dan para filsuf dengan keras;
3.
Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria
Ilmu-ilmu);
4.
Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan
Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang
dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf,
dan filsafat;
5.
Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat
Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran al-Ghazali
sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan
mencapai Tuhan;
6.
Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan
Yang Rasional), Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemudian
hakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.
7.
Misykat al-Anwar (Lampu
Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf;
8.
Minhaj al-‘Abidin (Jalan
Mengabdikan Diri Kepada Tuhan);
9.
Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi
Dalam Akidah);
10.
Ayyuha al-Walad;
11.
Al-Mustashfa;
12.
Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm
al-Kalam;
13.
Mizan al-‘Amal.
14.
Mahakk al-Nazhar.[8]
B.
Pandangan
al-Ghazali terhadap filsafat yang berkembang di zamannya
Imam
al-Ghazali adalah seorang tokoh yang juga banyak menulis mengenai filsafat,
sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya Tahafut Falsafah sebagai
salah satu buku yang mengkritik keras terhadap pemikiran para filsuf yang dianggap
menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Namun di sisi lain beliau menulis buku Maqashid
Al-Falsafah, yang mana beliau mengemukakan kaidah filsafat untuk
menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika.
Pada
prinsipnya, al-Ghazali tidaklah bertujuan menghancurkan filsafat dalam
pengertian yang sebenarnya, bukan dalam pengertian awam. Bahkan, beliau adalah
seorang yang mendalaminya dan berfilsafat. Dari konteks tersebut, terlihat
bahwa al-Ghazali sama sekali tidaklah bertujuan menyerang filsafat dengan arti
filsafat, tetapi tujuannya hanyalah menjelaskan kesalahan pendapat para filsuf,
dan dalam bentuknya ditujukan kepada al-Farabi dan Ibn Sina.[9]
Kritik
terhadap para filsuf yang dilakukan oleh al-Ghazali didasarkan pada alasan
berikut.
Pertama,
al-Ghazali tidak memulai serangannya terhadap filsafat,
kecuali setelah mempelajari dan memahaminya dengan baik, sampai-sampai ia layak
disebut sebagai salah satu filsuf itu sendiri. Hal ini konsisten dengan
pernyatannya dalam Al-Munqids, “Orang yang tidak menguasai suatu ilmu
secara penuh, tidak akan bisa membongkar kebobrokan ilmu tersebut.” Sebagai
bukti penguasaan al-Ghazali terhadap filsafat adalah buku Maqashid al-Falsafah
(Maksud-maksud Para Filsuf) yang oleh al-Ghazali dimaksudkan sebagai
pengantar terhadap Tahafut, di samping buku-buku yang lain.[10]
Kedua,
beliau mengetahui benar medan yang dihadapinya. Beliau tidak
menyerang filsafat sebagai satu kesatuan utuh, tetapi hanya metafisika yang
menurutnya (bisa) membahayakan Islam.
Berikut
akan dikemukan beberapa sanggahan al-Ghazali terhadap filsuf Islam:
1.
Teori
emanasi
Hampir semua filosof
Muslim menganut filsafat Emanasi dalam penciptaan alam semesta. Menurut al-Farabi
dan Ibnu Sina: alam semesta diciptakan oleh Allah secara Emanasi (pancaran)
semenjak Qidham dan Azali. Sebagai Khalikul Alam Allah mencipta semenjak Ia
wujud dan antara Ia dan ciptaan-Nya tidak diantarai oleh zaman. Oleh karena
itu, menurut mereka asal alam semesta ini Khadhim dan Azali. Namun, Khadhimnya
alam ini mereka sebut dengan Taqodum Zamani (keberadaannya tidak didahului oleh
zaman) sedangkan kadhimnya Allah mereka sebut denagn Taqqodum Zati
(keberadaan-Nya tidak didahului oleh apapun, Ia berdiri sendiri, Pencipta
alam).[11]
Jadi menurut filosof
Muslim alam diciptakan oleh Allah dari sesuatu yang sudah ada. Pandangan ini
sejalan dengan kenyataan yang ada di alam. Di alam ini yang ada hanyalah
penciptaan dari sesuatu yang sudah ada atau dari suatu bentuk berubah menjadi
bentuk yang lain. Biji, misalnya berubah menjadi anak pohon, anak pohon menjadi
pohon, pohon dipotong menjadi papan, papan disambung-sambung menjadi meja, meja
using menjadi bahan bakar, bahan bakar menjadi abu dan abu menjadi tanah. Anak
pohon tidak begitu saja, begitu pula pohon dan yang lainnya. Hal ini sesuai
dengan konsep penciptaan dalam Al-Qur’an.
Al-Ghazali menyanggah
pendapat ini dengan analisanya, sekiranya alam melimpah dari Allah sebagai
suatu keniscayaan, misalnya sinar dari matahari, alam ini akan qodhim pula
seperti qodhimnya Allah. Tidak akan ada orang yang mengatakan lampu membuat
sinar dan orang membuat baying-bayang. Orang yang menimbulkan suatu pekerjaan
tidak akan disebut pembuat tetapi hanya penyebab terjadinya pekerjaan.[12]
Dari uraian di atas
dapat dilihat bahwa telah terjadi perbedaan sudut pandang antara al-Ghazali dan
para filusuf Muslim. Hal ini karena masing-masing berangkat pada titik pijak
yang berbeda. Para filusuf Muslim bertolak dari rasio, sedangkan Al-Ghazali
bertolak dari empiric keagaamaan (Al-Qur’an). Andai kata al-Ghazali menyadari
tempat berpijak para filusuf Muslim ada kemungkinan kritiknya ini tidak akan
terjadi, misalnya dalam istilah qodhim. Bagi para filusuf Muslim, qodhim
berarti sesuatu yang dalam kejadiannya terus menerus tanpa permulaan bagi
kejadiannya dan tanpa akhir. Dalam kata lain, bagi para filusuf Muslim, qodhim
tidak berarti tanpa sebab tetapi boleh juga berarti suatu wujud dengan sebab.
Dengan demikian mekipun alam ini qodhim, keqohimannya tidak sama dengan
ke-qodhiman Allah. Sedangkan qodhim menurut al-Ghazali adalah sesuatu yang
tidak bersebab dan satu-satunya yang tidak bersebab adalah Allah. Bagi al-Ghazali
yang qodhim hanyalah Allah selainnya adalah baru.
2. Hukum sebab akibat (kausalitas) dan
mukjizat
Dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah, al-Ghazali mempersoalkan masalah khariq al-adat/khoriqul adah
(menyalahi kebiasaan) yang erat kaitannya dengan hukum kausalitas dalam
pengertian apakah hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang
pasti. Hal ini menurutnya dapat menyebabkan seseorang mempercayai atau tidak
mempercayai adanya mukjizat para Nabi yang oleh karenanya mukjizat ia artikan
sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam.[13]
Para filusuf Muslim
mengatakan bahwa hubungan sebab akibat merupakan hubungan kepastian atau
keniscayaan.
Menurut al-Ghazali,
hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dhorury (kepastian) dalam
pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi
keduanya masing-masing memiliki individualitasnya masing-masing. Sebagai
contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat
keniscayaan artinya orang makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan tidak
mesti menyebabkan orang merasa kenyang. Begitu pula kertas tidak mesti terbakar
oleh api, air tidak mesti membasahi kertas atau kain. Semua ini hanya merupakan
adat atau kebiasaan alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di
dunia ini karena kekuasan Allah semata. Karena itu, bila kertas yang
terbakar terkena api, orang makan menjadi kenyang dan kain basah terkena
air itu semata-mata hanya karena kekuasaan dan irodah Allah.[14]
Dengan demikian, tidak
benar anggapan bahwa api itu membuat terbakar, obat itu pembuat sembuh, roti
itu pembuat kenyang dan lain sebagainya. Menurut al-Ghazali para filusuf Muslim
mangingkari kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar oleh api.
Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat
membakar dari api atau mengubah diri Nabi Ibrahim menjadi suatu materi
yang tidak bisa terbakar oleh api.
Menurut pandangan al-Ghazali bahwa api itu tidak membakar Nabi Ibrahim
karena api bukan pembuat pembakar akan tetapi hal itu adalah perbuatan Allah
dengan qudroh dan irodah Allah, baik karena api berubah sifatnya menjadi tidak
terbakar atau nabi Ibrahim berubah materinya menjadi materi lain sehingga ia
menjadi tidak terbakar oleh api. Demikian pula dengan kasus Nabi Isa
menghidupkan orang mati, tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular, semua hal ini
terjadi karena menyangkut materi yang sifatnya menerima perubahan. Tanah
berubah menjadi tanaman, tanaman dimakan oleh binatang lalu berubah menjadi
darah dan darah berubah menjadi air mani binatang jantan dan bila bertemu
dengan sel telur dalam rahim binatang betina akan berubah menjadi janin dan
seterusnya akan melahirkan hewan sejenisnya. Rentetan kejadian tersebut berlaku
berdasarkan kebiasaan yang berlangsung dalam masa yang relative panjang. Akan
tetapi tidaklah mustahil apabila dengan kehendak dan kekuasaan Allah proses
panjang tersebut berubah menjadi singkat sebagaimana yang berlaku pada mukjizat
para Nabi dan Rosul.[15]
C.
Perkembangan filsafat di dunia timur pasca al-Ghazali
Setelah serangan
Al-Gazali ini terhadap pemikiran para filosof mengakibatkan filsafat tidak
berkembang lagi di dunia Islam bagian timur. Serangan ini meninggalkan
akibat-akibat yang menghambat perjalanan kajian filosofis di dalam Islam, dan
sebagian generasi yang datang belakangan yang berusaha untuk menolak semua
kajian rasional bersikap ekstrim dalam menanggapinya. Ibrahim Madkour
menyatakan Al-Ghazali pantas menyerang Al-Farabi dan Ibn Sina, karena mereka
mencukupkan diri dengan teori penciptaan, yakni teori emanasi ala Plotinus, dan
pendapat ini tidak bisa merealisasikan penciptaan yang dimaksudkan oleh
al-Qur’an maupun penciptaan yang berlandaskan pada kemampuan dan kehendak
Allah. Alasan kedua adalah, membatasi pengetahuan Allah hanya pada
universalia-universalia saja, atau usaha untuk menyederhanakannya melalui
universalia-universalia itu ke dalam partikularia-partikularia. Teori ini sama
sekali tidak bisa merealisir apa yang dikukuhkan oleh al-Qur’an bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu.[16]
Berbeda dengan dunia Islam bagian Timur, di
dunia Islam bagian barat, yang berpusat di Cordoba, filsafat sesudah Al-Ghazali
muncul dan berkembang kembali. Dikenallah filosof-filosof Andalusia seperti
Ibnu Bajjah, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd. Bahkan Ibn Rusyd mengarang Tahaafut
al-Tahaafut untuk menentang pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan untuk
membela pendapat-pendapat para filosof yang dikritik hujjat al-Islaam itu.
Masalah-masalah yang dipertentangkan itu dia singgung pula dalam bukunya Kitaab
Fashl al-Maqaal.[17]
Akibat serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran
filsafat sebelumnya, meski tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat
muslim filsafat menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kelesuan berfikir dan
berijtihad di kalangan umat Islam. Sejak pertengahan abad ke 12 M, hampir semua
khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat,
baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan. Kritikan
yang tajam inilah yang tampaknya memberi kontribusi tersendiri dalam kemunduran
kajian dan pemikiran filsafat dunia Islam khususnya di bagian Timur.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad at-Thusi al-Ghazali adalah nama lengkap dari
Imam al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H. di Thus Khurasan, suatu tempat
kira-kira sepuluh mil dari Naizabur Persia. Dan meninggal
dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. Di
masa hidupnya, al-Ghazali dikenal sebagai seorang teolog dan filosof besar. Di
samping itu juga masyhur sebagai seorang ahli fiqih dan tasawuf yang tidak
tertandingi pada zamannya. Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam,
ia sangat tekun untuk menulis kitab. Karya al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah. Salah satu
karya monumentalnya adalah kitab Ihya ‘Ulûmuddîn, yang dipakai oleh
seluruh dunia Islam hingga kini
Imam
al-Ghazali adalah seorang tokoh yang melakukan kritik keras terhadap pemikiran
para filsuf yang dianggap menggoyahkan sendi-sendi keimanan, sebagaimana yang
beliau tulis dalam bukunya Tahafut Falsafah. Namun di sisi lain beliau
menulis buku Maqashid Al-Falsafah, yang mana beliau mengemukakan kaidah
filsafat untuk menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan
metafisika. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa kritikan al-Ghazali hanyalah
bertujuan menjelaskan kesalahan pendapat para filsuf.
Setelah serangan
Al-Gazali terhadap pemikiran para filosof mengakibatkan filsafat tidak
berkembang lagi di dunia Islam bagian timur. Serangan ini meninggalkan
akibat-akibat yang menghambat perjalanan kajian filosofis di dalam Islam, dan
sebagian generasi yang datang belakangan yang berusaha untuk menolak semua
kajian rasional bersikap ekstrim dalam menanggapinya. Meskipun kritikan al-Ghazali tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon
masyarakat muslim filsafat menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kelesuan
berfikir dan berijtihad di kalangan umat Islam. Sejak pertengahan abad ke 12 M,
hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan
filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan.
B.
Saran
Tidak
bisa dipungkiri, kita sebagi umat Islam dalam mengemban amanat sebagai hamba
Allah, tentunya membutuhkan filsafat. Bagaimanapun juga, filsafat merupakan
alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Filsafat menanamkan kebiasaan
dan melatih akal-pikiran untuk bersikap kritis-analitis dan mampu melahirkan
ide-ide segar yang sangat dibutuhkan. Untuk itu, ia harus berkembang secara
alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan
disiplin- disiplin keilmuan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Khan, Ali Mahdi, Dasar-Dasar Filsafat
Islam: Pengantar Ke Gerbang Pemikiran, Bandung: Nuansa, 2004.
Mahali, A. Mudjab, Pembinaan Moral di
Mata Al-Ghazali, BPFE: Yogyakarta, 1984.
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Terj. Yudian
Wahyudi Asmin, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1983.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Rijal, Syamsul, Bersama Al-Ghazali
Memahami Filosof Alam: Upaya Meneguhkan Keimanan, Yogyakarta: Arruzz, 2003.
Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan
Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer, Yogyakarta:
Islamika, 2004.
Sirajudin. Filsafat Islam, Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
[1] A. Mudjab
Mahali, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghazali (BPFE: Yogyakarta, 1984), h.
1.
[2]Ibid.,
[3]Rijal, Syamsul,
Bersama Al-Ghazali Memahami Filosof Alam: Upaya Meneguhkan Keimanan (Arruzz
: Yogyakarta, 2003), h. 50.
[4]Ibid.,
[5]Sibawaihi, Eskatologi
Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer (Islamika
: Yogyakarta, 2004), h. 36.
[7]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005),
h. 79.
[8] Ali
Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam: Pengantar Ke Gerbang Pemikiran (Nuansa
: Bandung, 2004), h. 135.
[9] Ayi
Sofyan, Kapita Selekta Filsafat (Pustaka Setia : Bandung, 2010), h. 259.
[10] Ibid.,
h. 261.
[16] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
terj. Oleh yudian Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.126-127.
2 komentar:
terimahkasih infonya mas mantab.
terimahkasih informasi yang sangat menarik neh mas.
Posting Komentar