Kamis, 07 Mei 2015

Pandangan al-Ghazali Terhadap Filsafat

PANDANGAN AL-GHAZALI TERHADAP FILSAFAT
Oleh: Zainal Arifin

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Mengkaji filsafat Islam tidaklah semudah membalikkan tangan. Karena di dalam mempelajari filasafat Islam terdapat muatan historis dan teologis. Secara  historis, tarik-menarik kepentingan bahwa orisinalitas filsafat berasal dari Yunani atau Islam adalah problem fakta yanmg tidak dapat dihindari.
Di samping itu banyaknya filosof-filosof, baik Barat maupun Islam yang memiliki pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami filsafat. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi banyak bermunculan filosof-filosof di berbagai belahan dunia dan memiliki pemahaman sendiri-sendiri tentang filsafat. Di kalangan umat Islam sendiri juga terjadi hal-hal yang semacam  itu. sehingga antara para filosof, ada sebagian yang menguatkan pendapat yang lain, tetapi ada juga yang menyangkal bahkan menganggap keliru pendapat filosof yang lain.
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan tentang salah satu filosof Islam, yaitu al-Ghazali, yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana riwayat hidup dan karya al-Ghazali?
2.    Bagaimana pandangan al-Ghazali terhadap filsafat yang berkembang di zamannya?
3.    Bagaimana perkembangan filsafat di dunia timur pasca al-Ghazali?

BAB II
PANDANGAN AL-GHAZALI TERHADAP FILSAFAT

A.   Riwayat hidup dan karya al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad at-Thusi al-Ghazali adalah nama lengkap dari Imam al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H. di Thus Khurasan, suatu tempat kira-kira sepuluh mil dari Naizabur Persia. Dan meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. [1]
Di masa hidupnya, al-Ghazali dikenal sebagai seorang teolog dan filosof besar. Di samping itu juga masyhur sebagai seorang ahli fiqih dan tasawuf yang tidak ada tandingannya di zaman itu, sehingga karya tulisnya yang berupa kitab “Ihya’ ‘Ulumuddin” dipakai oleh seluruh dunia Islam hingga kini.[2]
Ayahnya tergolong orang yang shaleh dan hidup secera sederhana. Kesederhanaanya dinilai dari sikap hidup yang tidak mau makan kecuali atas usahanya sendiri. Ayahnya pada waktu senggang sering berkesempatan berkomunikasi dengan ulama pada majelis-majelis pengajian. Ia amat pemurah dalam memberikan sesuatu yang dimiliki kepada ulama yang didatangi sebagai rasa simpatik dan terima kasih. Sebagai orang yang dekat dan menyenangi ulama, ia berharap anaknya kelak mejadi ulama yang ahli agama serta member nasehat pada umat.[3]
Al-Ghazali, selain mendapat bimbingan dari ayahnya, dibimbing pula oleh seorang sufi kenalan dekat ayahnya. Di samping mempelajari ilmu tasawuf dan mengenal kehidupan sufi, beliau juga mendapat bimbingan studi al-Qur’an dan hadis, serta menghafal syair-syair. Ketika sufi pengasuh al-Ghazali merasa kewalahan dalam membekali ilmu dan kebutuhan hidupnya, ia dianjurkan untuk memasuki salah satu sekolah di Thus dengan beasiswa.[4]
Pengembaraan al-Ghazali dimulai pada usia 15 tahun. Pada usia ini, Al-Ghazali pergi ke Jurjan untuk berguru pada Abu Nasr al-Isma’ili. Pada usia 19 atau 20 tahun, al-Ghazali pergi ke Nisabur, dan berguru pada al-Juwayni hingga ia berusia 28 tahun. Selama di madrasah Nisabur ini, al-Ghazali mempelajari teologi, hukum, dan filsafat.[5]
Sepeninggal Al-Juwayni, al-Ghazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu menjadi gudang para sarjana di sinilah beliau berjumpa dengan Nizam al-Mulk. Kehadiran al-Ghazali disambut baik oleh Wazir ini, dan sudah bisa dipastikan bahwa oleh karena kedalaman ilmunya, semua peserta mengakui kehebatan dan keunggulannya. Dengan demikian, jadilah al-Ghazali “Imam” di wilayah Khurasan ketika itu. Beliau tinggal di kota Mu’askar ini hingga berumur 34 tahun. Melihat kepakaran al-Ghazali dalam bidang fiqih, teologi, dan filsafat, maka Wazir Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi “guru besar” teologi dan “rector” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad, yang telah didirikan pada tahun 1065. Pengangkatan itu terjadi pada 484/Juli 1091. Jadi, saat menjadi guru besar (profesor), al-Ghazali baru berusia 34 tahun.[6]
Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Karya al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, namun di sini hanya sebagian yang dapat disebutkan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.[7]
1.     Maqashid al-Falsafah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat;
2.     Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu Beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras;
3.     Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu);
4.     Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf, dan filsafat;
5.     Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan;
6.     Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional), Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemudian hakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.
7.     Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf;
8.     Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan);
9.     Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah);
10.  Ayyuha al-Walad;
11.  Al-Mustashfa;
12.  Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam;
13.  Mizan al-‘Amal.
14.  Mahakk al-Nazhar.[8]

B.   Pandangan al-Ghazali terhadap filsafat yang berkembang di zamannya
Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh yang juga banyak menulis mengenai filsafat, sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya Tahafut Falsafah sebagai salah satu buku yang mengkritik keras terhadap pemikiran para filsuf yang dianggap menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Namun di sisi lain beliau menulis buku Maqashid Al-Falsafah, yang mana beliau mengemukakan kaidah filsafat untuk menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika.
Pada prinsipnya, al-Ghazali tidaklah bertujuan menghancurkan filsafat dalam pengertian yang sebenarnya, bukan dalam pengertian awam. Bahkan, beliau adalah seorang yang mendalaminya dan berfilsafat. Dari konteks tersebut, terlihat bahwa al-Ghazali sama sekali tidaklah bertujuan menyerang filsafat dengan arti filsafat, tetapi tujuannya hanyalah menjelaskan kesalahan pendapat para filsuf, dan dalam bentuknya ditujukan kepada al-Farabi dan Ibn Sina.[9]
Kritik terhadap para filsuf yang dilakukan oleh al-Ghazali didasarkan pada alasan berikut.
Pertama, al-Ghazali tidak memulai serangannya terhadap filsafat, kecuali setelah mempelajari dan memahaminya dengan baik, sampai-sampai ia layak disebut sebagai salah satu filsuf itu sendiri. Hal ini konsisten dengan pernyatannya dalam Al-Munqids, “Orang yang tidak menguasai suatu ilmu secara penuh, tidak akan bisa membongkar kebobrokan ilmu tersebut.” Sebagai bukti penguasaan al-Ghazali terhadap filsafat adalah buku Maqashid al-Falsafah (Maksud-maksud Para Filsuf) yang oleh al-Ghazali dimaksudkan sebagai pengantar terhadap Tahafut, di samping buku-buku yang lain.[10]
Kedua, beliau mengetahui benar medan yang dihadapinya. Beliau tidak menyerang filsafat sebagai satu kesatuan utuh, tetapi hanya metafisika yang menurutnya (bisa) membahayakan Islam.
Berikut akan dikemukan beberapa sanggahan al-Ghazali terhadap filsuf Islam:

1.    Teori emanasi
Hampir semua filosof Muslim menganut filsafat Emanasi dalam penciptaan alam semesta. Menurut al-Farabi dan Ibnu Sina: alam semesta diciptakan oleh Allah secara Emanasi (pancaran) semenjak Qidham dan Azali. Sebagai Khalikul Alam Allah mencipta semenjak Ia wujud dan antara Ia dan ciptaan-Nya tidak diantarai oleh zaman. Oleh karena itu, menurut mereka asal alam semesta ini Khadhim dan Azali. Namun, Khadhimnya alam ini mereka sebut dengan Taqodum Zamani (keberadaannya tidak didahului oleh zaman) sedangkan kadhimnya Allah mereka sebut denagn Taqqodum Zati (keberadaan-Nya tidak didahului oleh apapun, Ia berdiri sendiri, Pencipta alam).[11]
Jadi menurut filosof Muslim alam diciptakan oleh Allah dari sesuatu yang sudah ada. Pandangan ini sejalan dengan kenyataan yang ada di alam. Di alam ini yang ada hanyalah penciptaan dari sesuatu yang sudah ada atau dari suatu bentuk berubah menjadi bentuk yang lain. Biji, misalnya berubah menjadi anak pohon, anak pohon menjadi pohon, pohon dipotong menjadi papan, papan disambung-sambung menjadi meja, meja using menjadi bahan bakar, bahan bakar menjadi abu dan abu menjadi tanah. Anak pohon tidak begitu saja, begitu pula pohon dan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan konsep penciptaan dalam Al-Qur’an.
Al-Ghazali menyanggah pendapat ini dengan analisanya, sekiranya alam melimpah dari Allah sebagai suatu keniscayaan, misalnya sinar dari matahari, alam ini akan qodhim pula seperti qodhimnya Allah. Tidak akan ada orang yang mengatakan lampu membuat sinar dan orang membuat baying-bayang. Orang yang menimbulkan suatu pekerjaan tidak akan disebut pembuat tetapi hanya penyebab terjadinya pekerjaan.[12]
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi perbedaan sudut pandang antara al-Ghazali dan para filusuf Muslim. Hal ini karena masing-masing berangkat pada titik pijak yang berbeda. Para filusuf Muslim bertolak dari rasio, sedangkan Al-Ghazali bertolak dari empiric keagaamaan (Al-Qur’an). Andai kata al-Ghazali menyadari tempat berpijak para filusuf Muslim ada kemungkinan kritiknya ini tidak akan terjadi, misalnya dalam istilah qodhim. Bagi para filusuf Muslim, qodhim berarti sesuatu yang dalam kejadiannya terus menerus tanpa permulaan bagi kejadiannya dan tanpa akhir. Dalam kata lain, bagi para filusuf Muslim, qodhim tidak berarti tanpa sebab tetapi boleh juga berarti suatu wujud dengan sebab. Dengan demikian mekipun alam ini qodhim, keqohimannya tidak sama dengan ke-qodhiman Allah. Sedangkan qodhim menurut al-Ghazali adalah sesuatu yang tidak bersebab dan satu-satunya yang tidak bersebab adalah Allah. Bagi al-Ghazali yang qodhim hanyalah Allah selainnya adalah baru.

2.    Hukum sebab akibat (kausalitas) dan mukjizat
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali mempersoalkan masalah khariq al-adat/khoriqul adah (menyalahi kebiasaan) yang erat kaitannya dengan hukum kausalitas dalam pengertian apakah hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang pasti. Hal ini menurutnya dapat menyebabkan seseorang mempercayai atau tidak mempercayai adanya mukjizat para Nabi yang oleh karenanya mukjizat ia artikan sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam.[13]
Para filusuf Muslim mengatakan bahwa hubungan sebab akibat merupakan hubungan kepastian atau keniscayaan.
Menurut al-Ghazali, hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dhorury (kepastian) dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya masing-masing. Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan artinya orang makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang merasa kenyang. Begitu pula kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kertas atau kain. Semua ini hanya merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasan Allah semata. Karena itu, bila kertas yang terbakar  terkena api, orang makan menjadi kenyang dan kain basah terkena air itu semata-mata hanya karena kekuasaan dan irodah Allah.[14]
Dengan demikian, tidak benar anggapan bahwa api itu membuat terbakar, obat itu pembuat sembuh, roti itu pembuat kenyang dan lain sebagainya. Menurut al-Ghazali para filusuf Muslim mangingkari kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar oleh api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api atau mengubah diri Nabi Ibrahim menjadi suatu materi  yang tidak bisa terbakar oleh api.
Menurut pandangan al-Ghazali bahwa api itu tidak membakar Nabi Ibrahim karena api bukan pembuat pembakar akan tetapi hal itu adalah perbuatan Allah dengan qudroh dan irodah Allah, baik karena api berubah sifatnya menjadi tidak terbakar atau nabi Ibrahim berubah materinya menjadi materi lain sehingga ia menjadi tidak terbakar oleh api. Demikian pula dengan kasus Nabi Isa menghidupkan orang mati, tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular, semua hal ini terjadi karena menyangkut materi yang sifatnya menerima perubahan. Tanah berubah menjadi tanaman, tanaman dimakan oleh binatang lalu berubah menjadi darah dan darah berubah menjadi air mani binatang jantan dan bila bertemu dengan sel telur dalam rahim binatang betina akan berubah menjadi janin dan seterusnya akan melahirkan hewan sejenisnya. Rentetan kejadian tersebut berlaku berdasarkan kebiasaan yang berlangsung dalam masa yang relative panjang. Akan tetapi tidaklah mustahil apabila dengan kehendak dan kekuasaan Allah proses panjang tersebut berubah menjadi singkat sebagaimana yang berlaku pada mukjizat para Nabi dan Rosul.[15]

C.   Perkembangan filsafat di dunia timur pasca al-Ghazali
Setelah serangan Al-Gazali ini terhadap pemikiran para filosof mengakibatkan filsafat tidak berkembang lagi di dunia Islam bagian timur. Serangan ini meninggalkan akibat-akibat yang menghambat perjalanan kajian filosofis di dalam Islam, dan sebagian generasi yang datang belakangan yang berusaha untuk menolak semua kajian rasional bersikap ekstrim dalam menanggapinya. Ibrahim Madkour menyatakan Al-Ghazali pantas menyerang Al-Farabi dan Ibn Sina, karena mereka mencukupkan diri dengan teori penciptaan, yakni teori emanasi ala Plotinus, dan pendapat ini tidak bisa merealisasikan penciptaan yang dimaksudkan oleh al-Qur’an maupun penciptaan yang berlandaskan pada kemampuan dan kehendak Allah. Alasan kedua adalah, membatasi pengetahuan Allah hanya pada universalia-universalia saja, atau usaha untuk menyederhanakannya melalui universalia-universalia itu ke dalam partikularia-partikularia. Teori ini sama sekali tidak bisa merealisir apa yang dikukuhkan oleh al-Qur’an bahwa Allah mengetahui segala sesuatu.[16]
Berbeda dengan dunia Islam bagian Timur, di dunia Islam bagian barat, yang berpusat di Cordoba, filsafat sesudah Al-Ghazali muncul dan berkembang kembali. Dikenallah filosof-filosof Andalusia seperti Ibnu Bajjah, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd. Bahkan Ibn Rusyd mengarang Tahaafut al-Tahaafut untuk menentang pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan untuk membela pendapat-pendapat para filosof yang dikritik hujjat al-Islaam itu. Masalah-masalah yang dipertentangkan itu dia singgung pula dalam bukunya Kitaab Fashl al-Maqaal.[17]
Akibat serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat sebelumnya, meski tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat muslim filsafat menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kelesuan berfikir dan berijtihad di kalangan umat Islam. Sejak pertengahan abad ke 12 M, hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan. Kritikan yang tajam inilah yang tampaknya memberi kontribusi tersendiri dalam kemunduran kajian dan pemikiran filsafat dunia Islam khususnya di bagian Timur.

BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad at-Thusi al-Ghazali adalah nama lengkap dari Imam al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H. di Thus Khurasan, suatu tempat kira-kira sepuluh mil dari Naizabur Persia. Dan meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 H.  Di masa hidupnya, al-Ghazali dikenal sebagai seorang teolog dan filosof besar. Di samping itu juga masyhur sebagai seorang ahli fiqih dan tasawuf yang tidak tertandingi pada zamannya. Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, ia sangat tekun untuk menulis kitab. Karya al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah. Salah satu karya monumentalnya adalah kitab Ihya ‘Ulûmuddîn, yang dipakai oleh seluruh dunia Islam hingga kini
Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh yang melakukan kritik keras terhadap pemikiran para filsuf yang dianggap menggoyahkan sendi-sendi keimanan, sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya Tahafut Falsafah. Namun di sisi lain beliau menulis buku Maqashid Al-Falsafah, yang mana beliau mengemukakan kaidah filsafat untuk menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa kritikan al-Ghazali hanyalah bertujuan menjelaskan kesalahan pendapat para filsuf.
Setelah serangan Al-Gazali terhadap pemikiran para filosof mengakibatkan filsafat tidak berkembang lagi di dunia Islam bagian timur. Serangan ini meninggalkan akibat-akibat yang menghambat perjalanan kajian filosofis di dalam Islam, dan sebagian generasi yang datang belakangan yang berusaha untuk menolak semua kajian rasional bersikap ekstrim dalam menanggapinya. Meskipun kritikan al-Ghazali tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat muslim filsafat menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kelesuan berfikir dan berijtihad di kalangan umat Islam. Sejak pertengahan abad ke 12 M, hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan.
B.   Saran
Tidak bisa dipungkiri, kita sebagi umat Islam dalam mengemban amanat sebagai hamba Allah, tentunya membutuhkan filsafat. Bagaimanapun juga, filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersikap kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan. Untuk itu, ia harus berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin- disiplin keilmuan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Khan, Ali Mahdi, Dasar-Dasar Filsafat Islam: Pengantar Ke Gerbang Pemikiran, Bandung: Nuansa, 2004.
Mahali, A. Mudjab, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghazali, BPFE: Yogyakarta, 1984.
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Terj. Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Rijal, Syamsul, Bersama Al-Ghazali Memahami Filosof Alam: Upaya Meneguhkan Keimanan, Yogyakarta: Arruzz, 2003.
Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer, Yogyakarta: Islamika, 2004.
Sirajudin. Filsafat Islam, Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.


[1] A. Mudjab Mahali, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghazali (BPFE: Yogyakarta, 1984), h. 1.
[2]Ibid.,
[3]Rijal, Syamsul, Bersama Al-Ghazali Memahami Filosof Alam: Upaya Meneguhkan Keimanan (Arruzz : Yogyakarta, 2003), h. 50.
[4]Ibid.,
[5]Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer (Islamika : Yogyakarta, 2004), h. 36.
[6]Ibid., h. 37.
[7] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 79.

[8] Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam: Pengantar Ke Gerbang Pemikiran (Nuansa : Bandung, 2004), h. 135.

[9] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat (Pustaka Setia : Bandung, 2010), h. 259.
[10] Ibid., h. 261.
[11] Sirajudin, Filsafat Islam (Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 178.

[12] Ibid., h.180.
[13] Ibid., h. 174.
[14] Ibid., h. 175.
[15] Ibid., h.176.
[16] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Oleh yudian Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.126-127.

[17] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), h. 380.

2 komentar:

sepatu anak murah mengatakan...

terimahkasih infonya mas mantab.

sepatu nike murah mengatakan...

terimahkasih informasi yang sangat menarik neh mas.

Posting Komentar

 
;