SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM
MAKALAH
PEMIKIRAN ALIRAN ASY'ARIAH
PROGRAM STUDI MEGISTER PENDIDIKAN ISLAM
OLEH WAHYUNI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beragam aliran teologi
yang berdiri memiliki sejarah yang cukup panjang, semuanya tidak terlepas
dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai pada para
pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut.
Makalah ini akan
membahas tentang aliran Asy’ariyah yang berkembang pada abad ke-4 dan
ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan salah satu aliran yang muncul atas
reaksi terhadap Mu’tazilah sebagai paham yang memprioritaskan akal sebagai
landasan dalam beragama. Ketidak sepakatan terhadap
doktrin-doktrin Mu’tazilah tersebut memunculkan aliran Asy’ariyah yang
dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang
dikemukan beliau dan para pengikutnya merupakan penengah diantara aliran-aliran
yang ada pada saat itu.
Pada
perkembangan selanjutnya aliran ini banyak dianut oleh mayoritas umat Islam
karena dianggap sebagai aliran Sunni yang mampu mewakili cara berpikir yang
diharapkan umat Islam di tengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran
yang datang lebih dulu.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
maka dalam pembahasan makalah ini, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1.
Sejarah timbulnya aliran Al-Asy’ariah
2.
Tokoh-tokoh
Utama Aliran Al-Asy’ari dan Ajaran
Pokoknya.
3.
Perkembangan
dan Pengaruh Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) di Dunia Islam
BAB II
PEMBAHASA
A. Sejarah
Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah.
Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran
al-Asy’ariah, berikut ini dipaparkan :
Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut
paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang bisa
disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu
malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan
kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah[1]. Menurut
pendapat ini al-Asy’ari berbelok arah
dari Mu’tazilah dikarenakan diberikan mimpi tentang aliran yang benar.
Cerita yang paling umum disebut sebagai
penyebab keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah
perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk
anak kecil di akhirat.Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat
bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh
sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana
kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya
Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh
orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika
terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi
kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang
dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya
yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau
mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku
hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa
diam[2]. Karena
perdebatannya sehingga al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah.
Aliran al-Asy’ari awalnya
muncul setelah kemunduran aliran Mu’tazilah. Eksistensi aliran ini
mempunyai pengaruh besar tatkala Mu’tazilah mengalami degradasi yang berarti
dengan implikasi mihnah.pergerakan al-Asy’ari mulai pada abad ke 4 H setelah ia
terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok lain, khususnya dengan
Mu’tazilah[3]. Aliran al-Asy’ari merupakan
bentuk dari pemahaman yang tidak sepihak dengan aliran pemikiran Mu’tazilah yang dianggap
hanya mengandalkan rasional saja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa latar belakang timbulnya aliran al-Asy’ariah dipengaruhi
beberapa faktor, antara lain yang paling krusial kekhawatiran Abu al-Hasan
al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat Islam.
Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup
kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam hatinya,
ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu kebenaran yang
harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.
B. Tokoh-tokoh Utama Aliran Al-Asy’ari dan Ajaran Pokoknya.
1. Abu Hasan al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan
aliran Asy’ariyah. Nama
lengkap beliau adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak Bin Salim Bin Ismail Bin
Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Abu Musa al-Asy’ari[4]. Beliau adalah putra Abu Musa
al-Asy’ari, salah seorang sahabat Nabi Saw yang menjadi mediator dalam sengketa
antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun
260 H (873 M) dan wafat di Baqdad pada tahun 324 H (935 M). Sejak kecil ia berguru kepada seorang
pengikut aliran Mu’tazilah terkenal yaitu al-Jub’ai, mempelajari ajaran-ajaran
Mu’tazilah dan mendalaminya terus sampai usia 40 tahun. Setelah
ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, maka ia pergi ke kota Baqdad, ibukota
khalifah Islamiyyah saat itu, dan meneruskan belajar disana. Ia belajar ilmu Kalam menurut paham
Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan orang mu’tazilah yang tangguh[5]. Jadi Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di
Bashrah sudah belajar dari masa kecilnya tentang aliran Mu’tazilah.
Kehidupan al-Asy’ari kecil tidak seberuntung masa
kanak-kanak pada umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan
oleh ayah kandungnya, Ismail.Dan ibunya kemudian dinikahi oleh Abu
Ali al-Juba’i, seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah.Maka dalam pelukan ayah
tiri inilah al-Asy’ari dididik dan dibesarkan[6]. Bisa
dikatakan lingkungan yang dibawah ayah tirinya membuatnya belajar tentang Mu’tazilah.
a.
Pemikiran Al-Asy’ari
Pada dasarnya kaum Asy’ariah merupakan
aliran moderat yang berusaha mengambil sikap penengah antara dua kutub Aqal dan Naql,
antara kaum Salaf dan Mu’tazilah. Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan
kontekstual sehingga al-Gazali menyebutnya sebagai aliran Mutawassithatau
pertengahan. Awal mula proses pemikiran
ajaran al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya al-Asy’ari di rumah dengan
berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba membandingkan dalil-dalil antara
kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam rangka menjawab pemikiran
kaum Mu’tazilah.
Perkembangan selanjutnya al-Asy`ari keluar menemui
masyarakat dan mengundang mereka untuk berkumpul di Mesjid pada hari Jum’at di
Bashrah. Al-Asy’ari berbicara, (saya) pernah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah
Makhluk, bahwa Allah tidak terlihat oleh indra penglihatan kelak pada hari
qiamat. Dan perbuatan-perbuatan saya yang tidak baik, maka saya sendirilah yang
melakukannya, kini saya bertobat dengan pendapat itu dan menolak ajaran
tersebut (Mu’tazilah)[7]. Jadi setelah
mendapatkan kemantapan hati maka al-Asy`ari untuk mengumumkan bahwa dia bertobat.
Kemudian
pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu:
1) Wajibul
Wujud, bahwa
setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat yang
Qadim. Oleh karena kaum Asy’ariah adalah kaum Sifatiyah[8].
Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kuasa, sifat-sifat
Allah adalah al-‘Ilmu (Maha
mengetahui) al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha
Hidup) dan lain-lain. Semua ini adalah sifat-sifat Azali (eternal) dan abadi
dan hal ini pula menunjukkan kemutlakan kekuatan Tuhan untuk berbuat atau tidak
berbuat.
2) keadilan Tuhan, Asy`ariyah bertentangan dengan
Mu’tazilah, karena al-Asy’ari memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara
mutlak.Jadi Tuhan bertindak semaunya terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan salah jika
seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya, semua
tergantung dari Allah.
3) al-Qur’an, bahwasanya Qur’an itu
sepenuhnya bukan makhluk termasuk suara dan hurufnya, hanya perwujudan dalam
bentuk suara dan huruf adalah makhluk, dan yang bersifat Qadim hanya
esensi al-Qur’an itu sendiri.[9]
Menyangkut tentang Akal dan Wahyu, menurut Asy’ariah, akal manusia tidak dapat
sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajiban
hanya melalui wahyu, wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia
bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran
itu[10]. Dengan demikian al-Asy’ari
memberikan posisi wahyu lebih tinggi tingkatannya dibanding akal.
4)
Kemudian mengenai Iman bagi al-Asy’ari adalah Tasdiq dan Ikrar, ‘Amal
bukanlah kategori Iman tapi perwujudan dari pada Tasdiq. Jadi al-Asy’ari berpendirian bahwa
Iman adalah keyakinan bathin (Inner belief) baik iman secara lisan atau
secara praktis (perbuatan) keduanya merupakan cabang Iman. Dengan demikian
siapa saja yang beriman pada hatinya (mengakui ke-Esaan Allah dan Rasulnya
serta dengan ikhlas mempercayai segala apa yang mereka terima darinya). Iman
orang seperti ini sah, jika dia mati ia akan selamat dari neraka. Tidak ada
sesuatu apapun yang membuat orang tidak beriman (hilang Imannya) kecuali kalau
menolak salah satu (keduanya) dari kebenaran-kebenaran yang dua itu[11]. Jadi siapa
saja yang beriman dalam hatinya maka jika ia mati maka akan selamat dari
neraka. Dengan demikian kata al-Asy’ari siapa saja yang melakukan dosa
besar lalu mati sebelum bertobat dari dosa itu, maka keputusannya (apakah ia
masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT.
5)
Melihat Tuhan:
ia berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat, Allah juga ada maka dengan
demikian dia dapat dilihat, ini dapat diketahui dari wahyunya bahwa kaum Mukmin
akan melihatnya dihari akhir nanti, sebagaimana Allah katakan “Dihari itu wajah
mereka (yang beriman) akan berseri-seri melihat Tuhan mereka (Q.S. al-Qiyamah/75:
22)[12]. Akan tetapi penglihatan kita
terhadap Tuhan tidak memerlukan ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling
tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil. Al-Asy’ari juga dikenal
karena doktrin Kasyab (perolehan) kaitannya dengan perbuatan
manusia.Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung
jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk
dipertanggungjawabkan[13]. Doktrin ini sarana untuk
menggambarkan kebebasan kehendak manusia, sehingga manusia harus
mempertanggungjawabkannya. Juga sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya
dan kekuatan Tuhan semata
b.
Ajaran al-Baqillani
1) Riwayat Hidupnya
Al-Qadi Abu Bakr Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Ibn
al-Qasim Abu Bakr al-Baqillani adalah nama lengkap dari al-Baqillani yang
diduga lahir di Bashrah[14]. Itulah nama
lengkap yang orang lain kenal sebagai al-Baqillani.
2) Pemikiran Kalam al-Baqillani
a) Fungsi Akal dan Wahyu
Dalam aliran Mu’tazilah memandang akal dapat mengetahui
adanya kewajiban-kewajiban dan mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu
sekedar melengkapi temuan-temuan dari akal tersebut. Dengan kata lain, fungsi
akal bagi aliran Mu’tazilah bersifat informatif, sedang wahyu bersifat
konfirmatif[15]. Aliran ini
lebih mengutamakan akal dari pada wahyu. Akal sebagai penemu dan wahyu adalah
konfirmasi.
Berbeda dengan al-Asy’ari, fungsi akal dalam mengetahui
kewajiban-kewajiban serta baik dan buruk bersifat konfirmatif dari informasi
yang dibawa wahyu[16]. Akal manusia tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban adalah berdasarkan
wahyu. Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian
pahala bagi orang yang taat dan pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat
adalah berdasarkan wahyu, bukan pada akal.
Al- Baqillani berpendapat bahwa akal tetap berperan terhadap
masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan pahala dan siksa. Misalnya,
walaupun akal tidak dapat mengetahui secara spontan mana makanan yang sehat dan
mana yang mengandung racun, tetapi akal dapat mengetahuinya melalui eksperimen[17]. Berdasarkan pendapat
di atas, dapat dipahami bahwa fungsi akal dan wahyu dalam perspektif al-Baqillani
agak berbeda dengan al-Asy’ari, tetapi juga tidak sama dengan Mu’tazilah. Akal
hanya mampu mengetahui baik dan buruk yang berada di luar bingkai syar’I,
sedang baik dan buruk yang berkenaan dengan pahala dan dosa, wahyulah yang
menentukan.
b) Tentang
Sifat-sifat Tuhan
Menurut pandangan aliran al-Asy’ari bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat yang lain dari zat-Nya.. "إنها
هي هو ولا هي غيره"Menurutnya
Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan demikian teratur tidak
tercipta kecuali diciptakan oleh Tuhan yang mempunyai ilmu. Demikian pula
menurutnya Allah mempunyai qudrat, hayat dan sebagainya[18]. Jadi
menurut aliran ini bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan yang memiliki ilmu.
c). Perbuatan
Manusia
Dalam pandangan al-Asy’ari, manusia tidak punya pilihan di
dalam perbuatannya sebab semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan
Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan manusia, sehingga manusia
sama sekali tidak mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya[19]. Tuhan
pemegang semua kekuasaan sehingga manusia tidak mempunyai daya untuk menentang.
Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada
perbuatan yang terjadi berdasarkan pilihan manusia, dan ada pula perbuatan yang
manusia terpaksa melakukannya. Menurutnya,manusia mampu berdiri, duduk, dan
berbicara dengan kehendaknya sendiri. Tetapi manusia tidak mampu bergerak
ketika lumpuh dan sakit[20]. Dengan demikian, manusia mempunyai
kebebasan kehendak dalam menentukan perbuatannya sendiri.
c. Al-Juwaini
1) Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin
Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayawi al-Juwaini. Nama al-Juwaini dinisbahkan pada
kota tempat kelahirannya, Juwaini termasuk wilayah Naisabur, Khurasan. Juga
dikenal dengan gelaran Abu al-Ma’ali, yang menunjukkan keutamaan yang
dimilikinya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Di samping itu ia
lebih masyhur dengan Imam al-Haramain, gelar yang diberikan setelah mengajar
selama empat tahun di dua kota suci. Mekkah dan Madinah (447-451).
Al-Juwaini pertama mempelajari agama dari ayahnya, Syekh Abu Bakr
Muhammad. Ayahnya adalah ahli dalam bidang fiqh dan usul al-fiqh, nahwu dan
sastra. Kemudian dia berguru kepada Abu al-Qasim al-Iskafiy al-Isfiray di
Madrasah al-Baihaqi. Dan ketika pertentangan antara aliran Asy’ariyah dengan
aliran Mu’tazilah memuncak, dia pergi ke Baghdad dan disana dia belajar pada
beberapa orang ulama besar. Dia berdiskusi serta berguru kepada mereka sehingga
nama al-Juwaini populer dikalangan mereka. Al-Juwaini mengikuti jejak
al-Baqillani dalam menjunjung tinggi argumentasi akal, bahkan pergi lebih jauh
dari al-Baqillani.
2)
Pemikiran Kalam al-Juwaini
a)
Fungsi Akal dan
Wahyu
Tidak jauh berbeda dengan umumnya kaum Asy’ari. al-Juwaini
memandang akal tidak mampu menjangkau adanya kewajiban-kewajiban, baik dan
buruk dalam syariat atau hukum Tuhan sebelum turunnya wahyu. Semua hal tersebut
hanya bisa didapat melalui perantaraan wahyu Tuhan. Namun demikian, al-Juwaini
tidak selamanya sependapat dengan al-Asy’ari, dia berpendapat bahwa baik dan
buruk yang tidak berhubungan dengan pahala dan dosa dapat dijangkau oleh akal[21]. Dengan demikian, fungsi akal bagi
al-Juwaini tidak selamanya bersifat konfirmatif atas informasi yang didatangkan
wahyu, tetapi juga bersifat informatif. Sebaliknya wahyu juga tidak selamanya
berfungsi informatif, tetapi terkadang bersifat konfirmatif.
b)
Perbuatan Manusia
Bagi al-Juwaini, manusia bebas dalam menetukan kehendak dan
perbuatannya[22]. Daya yang ada pada manusia menurutnya
mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab
dan musabab. Wujud perbuatan bergantung pada daya yang ada pada manusia. Wujud
daya itu bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab itu bergantung pula
pada sebab lain lagi dan demikian seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari
segala sebab yaitu Tuhan.
Jadi menurut al-Juwaini, manusia punya
andil dalam mewujudkan perbuatannya, sebab daya yang ada pada manusia mempunyai
efek saat terjadi perbuatan. Sehingga
perbuatan yang dilakukan oleh manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi
perbuatan manusia sendiri.
c)
Sifat-sifat
Tuhan
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua kelompok,
yakni :
1)
Sifat nafsiyah. Yakni sifat isbat bagi
zat yang selalu ada selama zat itu ada, tanpa disebabkan oleh sesuatu yang ada
pada zat yaitu sifat: qidam, baqa, qiyamuhu binafsihi, mukhalafah li
al-hawadis dan wahdaniyah.
2)
Sifat ma’nawiyah, ialah sifat yang
timbul (ada) karena sesuatu illat yang ada pada zat,
seperti: qadir, murid, dan sebagainya.
Adapun
wujud Tuhan menurut al-Juwaini tidak termasuk sifat tetapi merupakan zat Tuhan
sendiri.
d. Al-Gazali
1) Riwayat
Hidupnya
Al-Gazali lahir di Gazalah, sebuah kota kecil yang terletak
didekat Tus (wilayah Kurasan) pada tahun 450 H / 1058 M dan wafat pada tahun
505 H / 19 Desember 11
M. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Tawus Abu Hamid Imam
al-Gazali, digelari hujjat al-Islam. Al-Gazali dinisbahkan
kepada ayahnya sebagai gazal –pemintal kain.Hujjat
al-Islam adalah penghargaan yang pantas disandangnya. Sebab, selain
sebagai representasi kaum sunni, juga karena kecermatan dan kecemerlangan tiap
argumentasi yang mendasari pemikirannya.
Masa kecilnya dilewati dengan suasana
keagamaan yang sederhana di Tawus, kota kedua sesudah Naisaburi di Khurasan. Mula-mula ia belajar fiqh dari Ahmad
bin Muhammad al-Razikaniy. Di usia menjelang 20 tahun ia mempelajari selain
agama, bahasa Persia dan Arab pada al-Isma’ili di Jurjan. Beberapa tahun
sesudahnya ia berguru kepada al-Juwaini yang menjadi pembina Madrasah Nizamiyah
di Naisaburi, terutama ilmu fiqh Syafi’I dan kalam Asy’ari[23]. Jadi beliau
sudah belajar pada masa kecilnya dengan berbagai ilmu.
2)
Pemikiran Kalam Al-Gazali
a) Fungsi
Akal dan Wahyu
Akal dalam pandangan
al-Gazali bisa menjangkau wujud Tuhan melalui pemikiran tentang alam yang
bersifat dijadikan. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Gazali selanjutnya,
bahwa objek pengetahuan terbagi tiga: yang dapat diketahui dengan akal saja,
yang dapat diketahui dengan wahyu saja, dan yang dapat diketahui dengan akal
dan wahyu. Wujud Tuhan dimasukkan dalam kategori pertama, yaitu kategori yang
dapat diketahui dengan akal tanpa wahyu[24]. Oleh karena
akal dan wahyu saling menunjang satu sama lain.
Akan
tetapi akal tidak bisa menjangkau adanya kewajiban-kewajiban bagi manusia,
kewajiban hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Juga akal tidak bisa mengetahui
baik dan buruk. Baik dan buruk hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Demikian pula
dengan pahala dan dosa, akal sama sekali tidak punya kemampuan untuk
mencapainya. Pahala dan dosa hanya bisa diperoleh melalui wahyu.
b) Perbuatan
Manusia
Mengenai perbuatan manusia, al-Gazali berpendapat bahwa
Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya yang terdapat dalam diri
manusia tidak efektif dalam mewujudkan perbuatan, tetapi lebih bersifat
impotensi[25]. Dengan demikian, manusia tidak punya
kebebasan dalam mewujudkan perbuatannya, ia sangat bergantung pada daya yang
diciptakan Tuhan.
Dalam menjelaskan mengenai perbuatan manusia ini, al-Gazali
menyatakan bahwa perbuatan adalah bagian dari gerak yang bila dihubungkan
dengan manusia, maka ada gerak yang tidak disadari (al-tabi’iyah) dan
gerak yang disadari (al-iradiyah). Perbuatan-perbuatan yang
disadari terjadinya, melalui proses tertentu dalam jiwa manusia yang disebut
dengan ikhtiar. Dan perbuatan semacam ini melalui tiga tahap dalam diri
manusia, yaitu pengetahuan (al-ilm),kemauan (al-iradah), dan
kemampuan (al-qudrah)[26]. Jadi perbuatan yang dilakukan
manusia itu, berdasarkan pandangan al-Gazali diatas pada hakekatnya adalah
perbuatan Tuhan dan manusia hanya melakukan secara majaz, bukan sesungguhnya.
c) Sifat-sifat
Tuhan
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan, al-Gazali berbeda
dengan gurunya al-Juwaini, dan lebih sejalan dengan pandangan al-Asy’ari. Ia
menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat
Tuhan dan sifat-sifat itu mempunyai wujud diluar zat-Nya.
C. Perkembangan
dan Pengaruh Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) di Dunia Islam
Perkembangan Aliran Asy’ariah (Ahlu Sunnah wal
jama’ah) Sebagaimana telah diuraikan
sebelumya bahwa dalam perkembanganya aliran al Asy’ari kemudian diidentikkan
dengan paham Ahlu Sunnah wal jama’ah maka untuk membahas perkembangannya dan
pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak terlepas dari peranan
tokoh-tokohnya sendiri. Pengaruh Asy’ariah (Ahlus Sunnah wal
Jama’ah) jika diperhatikan perjalanan sejarah
tokoh-tokoh Asy’ariah dalam perkembanganya dengan klaim Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasanya pengaruh ajaran Ahlu Sunnah wal
Jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal:
1.
Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan
keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu
ia adalah seseorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati
orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
2.
Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan
birokrasi (penguasa) yang sangat membantu penyebaran paham ini. Para
tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam bidang memberikan
argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlu Sunnah
wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiah yang
menjadi referensi hingga saat ini. Karya tersebut antara lain: Maqalat
al-Islamiyyah, al-Ibanah an Ushuluddianah, al Luma’Ketiganya
oleh Asy’ari, al-Tamhid oleh al Baqillani, al-Irsyad oleh
al Juwaini, al-Qawaidul Aqa’id dan Ihya Ulumuddin oleh
al Ghazali, Aqidatu Ahlut Tauhid oleh al Sanusi, Risalatut
Tauhid oleh Muhammad Abduh dan karya-karya lainnya.
Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia
misalnya NU secara formal konstitusional menganut ideologi, demikian pula
Muhammadiyah secara tidak langsung mengakui ideologi ini seperti yang terlihat
adalah salah satu keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa
keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah.
Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu
Sunnah ialah Persatuan Islam (persis). Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran
Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, ditarik suatu kesimpulan, bahwa
secara histories timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya
keinginan untuk kembali pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah
Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya al-Asy’ari masih menggunakan metode
yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah, yaitu menggunakan kemampuan akal
menganalisis nas-nas al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk
memahami wahyu, berangkat dari akal kemudia wahyu.Tapi al-Asy’ari sebaliknya
mengedepankan wahyu disbanding akal, menggunakan akal seperlunya saja.Sehingga
tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu mengkompromikan pemahaman
Ahlussunnah Waljammah dengan kaum rasionalis tersebut.Hal tersebut dapat
dilihat pada setiap pokok-pokok pemikirannya.
B.
KRITIK dan SARAN
Makalah ini tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan , tentu masih banyak kekurangan yang tanpa sengaja, untuk itu kami
selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan penulisan-penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Dinayah,
Dar al Kitab al-Arabiy, 1985.
Abu, Muhammad Zahrah. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyahditerjemhkan
oleh Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam.Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Al-Baqillani. Kitab Tamhid al-Awa’il
wa Talkhis al-Dala’il. Beirut: Muassasat al-Kutub al-Saqafiyyah 1369.
Al-Haramain, Imam
al-Juwaini. Kitab al-Irsyad al-Qawati’ al-Adillah fi Usul
al-I’tiqad. Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1950.
Al-Karim, Abd
al-Syahrastaniy. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 1992.
Al-Rahman, Abd al-
Badawiy. Mazahib al-Islamiyah. Beirut: Dar al-Islamiy al-Malayin,
1971.
Departemen Agama RI. Mushaf
al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002.
Dun-ya,
Sulaiman. al-Haqiqah fi Nazr al- Gazali. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971
Glasse, Cyrill. The Concise
Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi
dengan Judul Ensiklopedi Islam.Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 1999.
Hanafi,
A. Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980.
Hasan, Abu ali ibn ismail
al-Asy’ari. Al-Luma fi Radd Ahl Ziyag wa al-Bida’. Mesir: Matba’ah
Munir, 1955.
Hasyim, Umar. Apakah Anda
Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Haq,
Hamka. Dialog: Pemikiran Islam. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000.
Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj Wa Tatbiqub
al-Juz al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran
dan Teory Filsafat Islam, Jakart: Bumi Aksara, 1995.
Ilhamuddin, Pemikiran
Kalam al-Baqillani. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Kazi A.K dan J.G. Flynn. Muslim
Sects And Divisionsditerjemahkan oleh Karsidi Diningrat dengan Judul
Sekte-Sekte Islam terjemahan dari The Sections On Muslim Sects In
Kitab al- Milal Wan Nihal Karya Muhammad bin Abdul Karim
Syahrastani, Bandung: Pustaka, 1999.
Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan
Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1996.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Cet.V;
Jakarta: UI-Press, 1986.
_______ Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya.Jakarta: UI Press, 1986.
[1] Harun Nasution. Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.V; Jakarta: UI-Press,
1986), h.66.
[3] Ibrahim
Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj Wa Tatbiqub al-Juz
al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran
dan Teory Filsafat Islam, (Jakart: Bumi Aksara, 1995), h. 65.
[4]Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), h. 66.
[6] A.K. Kazi dan J.G. Flynn, Muslim Sects And Divisions diterjemahkan
oleh Karsidi Diningrat dengan judul Sekte-Sekte Islam terjemahan dari The
Sections On Muslim Sects In Kitab al- Milal Wan Nihal karya
Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 125.
[7]Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah diterjemahkan oleh
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam
Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 189.
[9] Cyrill
Glasse, The Concise Encyclopedia of Islamditerjemahkan oleh Ghufron
A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada,
1999), h. 41.
[10] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan
Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 17.
[11] A.K. Kazi dan J.G. Flynn, Muslim Sects And Divisions diterjemahkan
oleh Karsidi Diningrat dengan judul Sekte-Sekte Islam terjemahan dari The
Sections On Muslim Sects In Kitab al- Milal Wan Nihal karya
Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 125.
[13] al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Jilid I (Cairo:
Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967), h. 124.
[16] Abd al-Karim al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992), h. 88.
[19] Abu Hasan ali
ibn ismail al-Asy’ari, Al-Luma fi Radd Ahl Ziyag wa al-Bida’ (Mesir:
Matba’ah Munir, 1955), h. 69.
[20] Al-Baqillani, Kitab
Tamhid al-Awa’il wa Talkhis al-Dala’il, (Beirut: Muassasat al-Kutub
al-Saqafiyyah 1369 H). h. 323.
[21] Imam al-Haramain al-Juwaini, Kitab al-Irsyad al-Qawati’
al-Adillah fi Usul al-I’tiqad (Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1950), h.
258-259.
[22] Abd al-Rahman
al- Badawiy, Mazahib al-Islamiyah(Beirut: Dar al-Islamiy
al-Malayin, 1971), h.724-725.
3 komentar:
izin share
Izin copy gan..
Izin copy
Posting Komentar