Jumat, 08 Mei 2015

TUGAS MAKALAH PEMIKIRAN ALIRAN ASY'ARIAH

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM

MAKALAH

PEMIKIRAN ALIRAN ASY'ARIAH

PROGRAM STUDI MEGISTER PENDIDIKAN ISLAM

OLEH WAHYUNI

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Beragam aliran teologi yang berdiri memiliki sejarah yang cukup panjang, semuanya tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai pada para pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut.
Makalah ini akan membahas tentang aliran Asy’ariyah yang berkembang pada abad ke-4 dan ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan salah satu aliran yang muncul atas reaksi terhadap Mu’tazilah sebagai paham yang memprioritaskan akal sebagai landasan dalam beragama. Ketidak sepakatan terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah tersebut memunculkan aliran Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang dikemukan beliau dan para pengikutnya merupakan penengah diantara aliran-aliran yang ada pada saat itu.
Pada perkembangan selanjutnya aliran ini banyak dianut oleh mayoritas umat Islam karena dianggap sebagai aliran Sunni yang mampu mewakili cara berpikir yang diharapkan umat Islam di tengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran yang datang lebih dulu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dalam pembahasan makalah ini, dapat dirumuskan beberapa permasalahan,  yaitu :
1.      Sejarah timbulnya aliran Al-Asy’ariah
2.      Tokoh-tokoh Utama Aliran Al-Asy’ari dan Ajaran Pokoknya.
3.      Perkembangan dan Pengaruh  Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) di Dunia Islam

BAB II
PEMBAHASA
A.  Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah.
Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah, berikut ini dipaparkan :
 Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang bisa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah[1]. Menurut pendapat ini al-Asy’ari berbelok arah dari Mu’tazilah dikarenakan diberikan mimpi tentang aliran yang benar.
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya   al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat.Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”.  Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam[2]. Karena perdebatannya sehingga al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah.
Aliran al-Asy’ari awalnya muncul setelah kemunduran aliran Mu’tazilah. Eksistensi aliran ini mempunyai pengaruh besar tatkala Mu’tazilah mengalami degradasi yang berarti dengan implikasi mihnah.pergerakan al-Asy’ari mulai pada abad ke 4 H setelah ia terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok lain, khususnya dengan Mu’tazilah[3]. Aliran al-Asy’ari merupakan bentuk dari pemahaman yang tidak sepihak dengan aliran pemikiran Mu’tazilah yang dianggap hanya mengandalkan rasional saja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar belakang timbulnya aliran al-Asy’ariah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain yang paling krusial kekhawatiran Abu al-Hasan al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat Islam.  Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.
B. Tokoh-tokoh Utama Aliran Al-Asy’ari dan Ajaran Pokoknya.
1. Abu Hasan al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan aliran Asy’ariyah. Nama lengkap beliau adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Abu Musa al-Asy’ari[4]. Beliau adalah putra Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang sahabat Nabi Saw yang menjadi mediator dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H (873 M) dan wafat di Baqdad pada tahun 324 H (935 M). Sejak kecil ia berguru kepada seorang pengikut aliran Mu’tazilah terkenal yaitu al-Jub’ai, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya terus sampai usia 40 tahun. Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, maka ia pergi ke kota Baqdad, ibukota khalifah Islamiyyah saat itu, dan meneruskan belajar disana. Ia belajar ilmu Kalam menurut paham Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan orang mu’tazilah yang tangguh[5]. Jadi Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah sudah belajar dari masa kecilnya tentang aliran Mu’tazilah.
Kehidupan al-Asy’ari kecil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya, Ismail.Dan ibunya kemudian dinikahi oleh Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah.Maka dalam pelukan ayah tiri inilah al-Asy’ari dididik dan dibesarkan[6]. Bisa dikatakan lingkungan yang dibawah ayah tirinya membuatnya belajar tentang Mu’tazilah.
a.    Pemikiran Al-Asy’ari
Pada dasarnya kaum Asy’ariah merupakan aliran moderat yang berusaha mengambil sikap penengah antara dua kutub Aqal dan Naql, antara kaum Salaf dan Mu’tazilah. Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Gazali menyebutnya sebagai aliran Mutawassithatau pertengahan. Awal mula proses  pemikiran ajaran al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya al-Asy’ari di rumah dengan berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba membandingkan dalil-dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam rangka menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah.
Perkembangan  selanjutnya al-Asy`ari keluar menemui masyarakat dan mengundang mereka untuk berkumpul di Mesjid pada hari Jum’at di Bashrah. Al-Asy’ari berbicara, (saya) pernah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Makhluk, bahwa Allah tidak terlihat oleh indra penglihatan kelak pada hari qiamat. Dan perbuatan-perbuatan saya yang tidak baik, maka saya sendirilah yang melakukannya, kini saya bertobat dengan pendapat itu dan menolak ajaran tersebut (Mu’tazilah)[7]. Jadi setelah mendapatkan kemantapan hati maka al-Asy`ari untuk mengumumkan bahwa dia bertobat.
Kemudian pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu:
1)      Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat yang Qadim. Oleh karena kaum Asy’ariah adalah kaum Sifatiyah[8]. Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu (Maha mengetahui) al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan lain-lain. Semua ini adalah sifat-sifat Azali (eternal) dan abadi dan hal ini pula menunjukkan kemutlakan kekuatan Tuhan untuk berbuat atau tidak berbuat.
2)      keadilan Tuhan, Asy`ariyah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena al-Asy’ari memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak.Jadi Tuhan bertindak semaunya terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan salah jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya, semua tergantung dari Allah.
3)      al-Qur’an, bahwasanya Qur’an itu sepenuhnya bukan makhluk termasuk suara dan hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara dan huruf adalah makhluk, dan yang bersifat Qadim hanya esensi al-Qur’an itu sendiri.[9] Menyangkut tentang Akal dan Wahyu, menurut Asy’ariah, akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu, wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu[10]. Dengan demikian al-Asy’ari memberikan posisi wahyu lebih tinggi tingkatannya  dibanding akal.
4)      Kemudian mengenai Iman bagi al-Asy’ari adalah Tasdiq dan Ikrar, ‘Amal bukanlah kategori Iman tapi perwujudan dari pada Tasdiq. Jadi al-Asy’ari berpendirian bahwa Iman adalah keyakinan bathin (Inner belief) baik iman secara lisan atau secara praktis (perbuatan) keduanya merupakan cabang Iman. Dengan demikian siapa saja yang beriman pada hatinya (mengakui ke-Esaan Allah dan Rasulnya serta dengan ikhlas mempercayai segala apa yang mereka terima darinya). Iman orang seperti ini sah, jika dia mati ia akan selamat dari neraka. Tidak ada sesuatu apapun yang membuat orang tidak beriman (hilang Imannya) kecuali kalau menolak salah satu (keduanya) dari kebenaran-kebenaran yang dua itu[11]. Jadi siapa saja yang beriman dalam hatinya maka jika ia mati maka akan selamat dari neraka. Dengan demikian  kata al-Asy’ari siapa saja yang melakukan dosa besar lalu mati sebelum bertobat dari dosa itu, maka keputusannya (apakah ia masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT.
5)      Melihat Tuhan: ia berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat, Allah juga ada maka dengan demikian dia dapat dilihat, ini dapat diketahui dari wahyunya bahwa kaum Mukmin akan melihatnya dihari akhir nanti, sebagaimana Allah katakan “Dihari itu wajah mereka (yang beriman) akan berseri-seri melihat Tuhan mereka (Q.S. al-Qiyamah/75: 22)[12]. Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil. Al-Asy’ari juga dikenal karena doktrin Kasyab (perolehan) kaitannya dengan perbuatan manusia.Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk dipertanggungjawabkan[13]. Doktrin ini sarana untuk menggambarkan kebebasan kehendak manusia, sehingga manusia harus mempertanggungjawabkannya. Juga sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya dan kekuatan Tuhan semata
b.    Ajaran al-Baqillani
1)  Riwayat Hidupnya
Al-Qadi Abu Bakr Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Ibn al-Qasim Abu Bakr al-Baqillani adalah nama lengkap dari al-Baqillani yang diduga lahir di Bashrah[14]. Itulah nama lengkap yang orang lain kenal sebagai al-Baqillani.
2)       Pemikiran Kalam al-Baqillani
a)       Fungsi Akal dan Wahyu
Dalam aliran Mu’tazilah memandang akal dapat mengetahui adanya kewajiban-kewajiban dan mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu sekedar melengkapi temuan-temuan dari akal tersebut. Dengan kata lain, fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah bersifat informatif, sedang wahyu bersifat konfirmatif[15]. Aliran ini lebih mengutamakan akal dari pada wahyu. Akal sebagai penemu dan wahyu adalah konfirmasi.
Berbeda dengan al-Asy’ari, fungsi akal dalam mengetahui kewajiban-kewajiban serta baik dan buruk bersifat konfirmatif dari informasi yang dibawa wahyu[16]. Akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban adalah berdasarkan wahyu. Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang taat dan pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat adalah berdasarkan wahyu, bukan pada akal.
Al- Baqillani berpendapat bahwa akal tetap berperan terhadap masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan pahala dan siksa. Misalnya, walaupun akal tidak dapat mengetahui secara spontan mana makanan yang sehat dan mana yang mengandung racun, tetapi akal dapat mengetahuinya melalui eksperimen[17]. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa fungsi akal dan wahyu dalam perspektif al-Baqillani agak berbeda dengan al-Asy’ari, tetapi juga tidak sama dengan Mu’tazilah. Akal hanya mampu mengetahui baik  dan buruk yang berada di luar bingkai syar’I, sedang baik dan buruk yang berkenaan dengan pahala dan dosa, wahyulah yang menentukan.
b)       Tentang Sifat-sifat Tuhan
Menurut pandangan aliran al-Asy’ari  bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang lain dari zat-Nya.. "إنها هي هو ولا هي غيره"Menurutnya Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan demikian teratur tidak tercipta kecuali diciptakan oleh Tuhan yang mempunyai ilmu. Demikian pula menurutnya Allah mempunyai qudrat, hayat dan sebagainya[18]. Jadi menurut aliran ini bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan yang memiliki ilmu.
c).  Perbuatan Manusia
Dalam pandangan al-Asy’ari, manusia tidak punya pilihan di dalam perbuatannya sebab semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan manusia, sehingga manusia sama sekali tidak mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya[19]. Tuhan pemegang semua kekuasaan sehingga manusia tidak mempunyai daya untuk menentang.
Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada perbuatan yang terjadi berdasarkan pilihan manusia, dan ada pula perbuatan yang manusia terpaksa melakukannya. Menurutnya,manusia mampu berdiri, duduk, dan berbicara dengan kehendaknya sendiri. Tetapi manusia tidak mampu bergerak ketika lumpuh dan sakit[20]. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan kehendak dalam menentukan perbuatannya sendiri.
c. Al-Juwaini
1) Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf  bin Muhammad bin Abdullah bin Hayawi al-Juwaini. Nama al-Juwaini dinisbahkan pada kota tempat kelahirannya, Juwaini termasuk wilayah Naisabur, Khurasan. Juga dikenal dengan gelaran Abu al-Ma’ali, yang menunjukkan keutamaan yang dimilikinya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Di samping itu ia lebih masyhur dengan Imam al-Haramain, gelar yang diberikan setelah mengajar selama empat tahun di dua kota suci. Mekkah dan Madinah (447-451).
Al-Juwaini pertama mempelajari agama dari ayahnya, Syekh Abu Bakr Muhammad. Ayahnya adalah ahli dalam bidang fiqh dan usul al-fiqh, nahwu dan sastra. Kemudian dia berguru kepada Abu al-Qasim al-Iskafiy al-Isfiray di Madrasah al-Baihaqi. Dan ketika pertentangan antara aliran Asy’ariyah dengan aliran Mu’tazilah memuncak, dia pergi ke Baghdad dan disana dia belajar pada beberapa orang ulama besar. Dia berdiskusi serta berguru kepada mereka sehingga nama al-Juwaini populer dikalangan mereka. Al-Juwaini mengikuti jejak al-Baqillani dalam menjunjung tinggi argumentasi akal, bahkan pergi lebih jauh dari al-Baqillani. 
2)      Pemikiran Kalam al-Juwaini
a)              Fungsi Akal dan Wahyu       
Tidak jauh berbeda dengan umumnya kaum Asy’ari. al-Juwaini memandang akal tidak mampu menjangkau adanya kewajiban-kewajiban, baik dan buruk dalam syariat atau hukum Tuhan sebelum turunnya wahyu. Semua hal tersebut hanya bisa didapat melalui perantaraan wahyu Tuhan. Namun demikian, al-Juwaini tidak selamanya sependapat dengan al-Asy’ari, dia berpendapat bahwa baik dan buruk yang tidak berhubungan dengan pahala dan dosa dapat dijangkau oleh akal[21]. Dengan demikian, fungsi akal bagi al-Juwaini tidak selamanya bersifat konfirmatif atas informasi yang didatangkan wahyu, tetapi juga bersifat informatif. Sebaliknya wahyu juga tidak selamanya berfungsi informatif, tetapi terkadang bersifat konfirmatif.
b)      Perbuatan Manusia
Bagi al-Juwaini, manusia bebas dalam menetukan kehendak dan perbuatannya[22]. Daya yang ada pada manusia menurutnya mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan bergantung pada daya yang ada pada manusia. Wujud daya itu bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikian seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
Jadi menurut al-Juwaini, manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatannya, sebab daya yang ada pada manusia mempunyai efek saat terjadi perbuatan. Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi perbuatan manusia sendiri.
c)       Sifat-sifat Tuhan     
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua kelompok, yakni :
1)        Sifat nafsiyah. Yakni sifat isbat bagi zat yang selalu ada selama zat itu ada, tanpa disebabkan oleh sesuatu yang ada pada zat yaitu sifat: qidam, baqa, qiyamuhu binafsihi, mukhalafah li al-hawadis dan wahdaniyah.
2)         Sifat ma’nawiyah, ialah sifat yang timbul (ada) karena sesuatu illat yang ada pada zat, seperti: qadir, murid, dan sebagainya.
Adapun wujud Tuhan menurut al-Juwaini tidak termasuk sifat tetapi merupakan zat Tuhan sendiri.
d.      Al-Gazali
1)      Riwayat Hidupnya
Al-Gazali lahir di Gazalah, sebuah kota kecil yang terletak didekat Tus (wilayah Kurasan) pada tahun 450 H / 1058 M dan wafat pada tahun 505 H / 19 Desember 11 M.  Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Tawus Abu Hamid Imam al-Gazali, digelari hujjat al-Islam. Al-Gazali dinisbahkan kepada ayahnya sebagai gazal –pemintal kain.Hujjat al-Islam adalah penghargaan yang pantas disandangnya. Sebab, selain sebagai representasi kaum sunni, juga karena kecermatan dan kecemerlangan tiap argumentasi yang mendasari pemikirannya.
Masa kecilnya dilewati dengan suasana keagamaan yang sederhana di Tawus, kota kedua sesudah Naisaburi di Khurasan. Mula-mula ia belajar fiqh dari Ahmad bin Muhammad al-Razikaniy. Di usia menjelang 20 tahun ia mempelajari selain agama, bahasa Persia dan Arab pada al-Isma’ili di Jurjan. Beberapa tahun sesudahnya ia berguru kepada al-Juwaini yang menjadi pembina Madrasah Nizamiyah di Naisaburi, terutama ilmu fiqh Syafi’I dan kalam Asy’ari[23]. Jadi beliau sudah belajar pada masa kecilnya dengan berbagai ilmu.
2)       Pemikiran Kalam Al-Gazali
a)      Fungsi Akal dan Wahyu       
 Akal dalam pandangan al-Gazali bisa menjangkau wujud Tuhan melalui pemikiran tentang alam yang bersifat dijadikan. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Gazali selanjutnya, bahwa objek pengetahuan terbagi tiga: yang dapat diketahui dengan akal saja, yang dapat diketahui dengan wahyu saja, dan yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud Tuhan dimasukkan dalam kategori pertama, yaitu kategori yang dapat diketahui dengan akal tanpa wahyu[24]. Oleh karena akal dan wahyu saling menunjang satu sama lain.
          Akan tetapi akal tidak bisa menjangkau adanya kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Juga akal tidak bisa mengetahui baik dan buruk. Baik dan buruk hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Demikian pula dengan pahala dan dosa, akal sama sekali tidak punya kemampuan untuk mencapainya. Pahala dan dosa hanya bisa diperoleh melalui wahyu.
b)      Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia, al-Gazali berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya yang terdapat dalam diri manusia tidak efektif dalam mewujudkan perbuatan, tetapi lebih bersifat impotensi[25]. Dengan demikian, manusia tidak punya kebebasan dalam mewujudkan perbuatannya, ia sangat bergantung pada daya yang diciptakan Tuhan.
Dalam menjelaskan mengenai perbuatan manusia ini, al-Gazali menyatakan bahwa perbuatan adalah bagian dari gerak yang bila dihubungkan dengan manusia, maka ada gerak yang tidak disadari (al-tabi’iyah) dan gerak yang disadari (al-iradiyah). Perbuatan-perbuatan yang disadari terjadinya, melalui proses tertentu dalam jiwa manusia yang disebut dengan ikhtiar. Dan perbuatan semacam ini melalui tiga tahap dalam diri manusia, yaitu pengetahuan (al-ilm),kemauan (al-iradah), dan kemampuan (al-qudrah)[26]. Jadi perbuatan yang dilakukan manusia itu, berdasarkan pandangan al-Gazali diatas pada hakekatnya adalah perbuatan Tuhan dan manusia hanya melakukan secara majaz, bukan sesungguhnya.
c)      Sifat-sifat Tuhan
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan, al-Gazali berbeda dengan gurunya al-Juwaini, dan lebih sejalan dengan pandangan al-Asy’ari. Ia menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan sifat-sifat itu mempunyai wujud diluar zat-Nya.
C. Perkembangan dan Pengaruh  Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) di Dunia Islam
 Perkembangan Aliran  Asy’ariah (Ahlu Sunnah wal jama’ah) Sebagaimana telah diuraikan sebelumya bahwa dalam perkembanganya aliran al Asy’ari kemudian diidentikkan dengan paham Ahlu Sunnah wal jama’ah maka untuk membahas perkembangannya dan pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya sendiri.  Pengaruh  Asy’ariah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) jika diperhatikan perjalanan sejarah tokoh-tokoh Asy’ariah dalam perkembanganya dengan klaim  Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasanya pengaruh ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal:
1.    Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
2.    Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa) yang sangat membantu penyebaran paham ini. Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Karya tersebut antara lain: Maqalat al-Islamiyyahal-Ibanah an Ushuluddianah, al Luma’Ketiganya  oleh Asy’ari, al-Tamhid oleh al Baqillani, al-Irsyad oleh al Juwaini, al-Qawaidul Aqa’id dan Ihya Ulumuddin oleh al Ghazali, Aqidatu Ahlut Tauhid oleh al Sanusi, Risalatut Tauhid oleh Muhammad Abduh dan karya-karya lainnya.
Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia misalnya NU secara formal konstitusional menganut ideologi, demikian pula Muhammadiyah secara tidak langsung mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah satu keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu Sunnah ialah Persatuan Islam (persis). Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, ditarik suatu kesimpulan, bahwa  secara histories timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya keinginan untuk kembali pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya al-Asy’ari masih menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah, yaitu menggunakan kemampuan akal menganalisis nas-nas al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk memahami wahyu, berangkat dari akal kemudia wahyu.Tapi al-Asy’ari sebaliknya mengedepankan wahyu disbanding akal, menggunakan akal seperlunya saja.Sehingga tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah dengan kaum rasionalis tersebut.Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok pemikirannya.
B.     KRITIK dan SARAN
Makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan , tentu masih banyak kekurangan yang tanpa sengaja, untuk itu kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Dinayah, Dar al Kitab al-Arabiy, 1985.
Abu, Muhammad Zahrah. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyahditerjemhkan oleh Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam.Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Al-Baqillani. Kitab Tamhid al-Awa’il wa Talkhis al-Dala’il. Beirut: Muassasat al-Kutub al-Saqafiyyah 1369.
Al-Haramain, Imam al-Juwaini. Kitab al-Irsyad al-Qawati’ al-Adillah fi Usul al-I’tiqad. Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1950.
Al-Karim, Abd al-Syahrastaniy. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992.
Al-Rahman, Abd al- Badawiy. Mazahib al-Islamiyah. Beirut: Dar al-Islamiy al-Malayin, 1971.
Departemen Agama RI. Mushaf al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002.
Dun-ya, Sulaiman. al-Haqiqah fi Nazr al- Gazali. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971
Glasse, Cyrill. The Concise Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dengan Judul Ensiklopedi Islam.Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 1999.
Hanafi, A. Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980.
Hasan, Abu ali ibn ismail al-Asy’ari. Al-Luma fi Radd Ahl Ziyag wa al-Bida’. Mesir: Matba’ah Munir, 1955.

Hasyim, Umar. Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Haq, Hamka. Dialog: Pemikiran Islam. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000.
Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj Wa Tatbiqub al-Juz al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teory Filsafat Islam, Jakart: Bumi Aksara, 1995.
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Kazi A.K dan J.G. Flynn. Muslim Sects And Divisionsditerjemahkan oleh Karsidi Diningrat dengan Judul Sekte-Sekte Islam terjemahan dari The Sections On Muslim Sects In Kitab al- Milal Wan Nihal Karya Muhammad bin  Abdul Karim Syahrastani, Bandung: Pustaka, 1999.
Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V; Jakarta: UI-Press, 1986.
_______ Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.Jakarta: UI Press, 1986.




[1] Harun Nasution. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.V; Jakarta: UI-Press, 1986), h.66.

[2] Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam  (Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000), h.12
[3] Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj Wa Tatbiqub al-Juz al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teory Filsafat Islam, (Jakart: Bumi Aksara, 1995), h. 65.

[4]Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), h. 66.
[5] Ibid, h.70.
[6] A.K. Kazi dan J.G. Flynn, Muslim Sects And Divisions diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat dengan judul Sekte-Sekte Islam terjemahan dari The Sections On Muslim Sects In Kitab al- Milal Wan Nihal karya Muhammad bin  Abdul Karim Syahrastani, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 125.

[7]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah diterjemahkan oleh Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 189.
[8] Ibid,h.190.

[9] Cyrill Glasse, The Concise Encyclopedia of Islamditerjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 1999), h. 41.

[10] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 17.
[11] A.K. Kazi dan J.G. Flynn, Muslim Sects And Divisions diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat dengan judul Sekte-Sekte Islam terjemahan dari The Sections On Muslim Sects In Kitab al- Milal Wan Nihal karya Muhammad bin  Abdul Karim Syahrastani, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 125.

[12] Departemen Agama RI, Mushaf al-Qur’an Terjemah (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002), h. 579.

[13] al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Jilid I (Cairo: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967), h. 124.

[14] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h.13.
[15] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 129.
[16] Abd al-Karim al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992), h. 88.

[17] A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980), h. 115.
[18] Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Dinayah (Dar al Kitab al-Arabiy, 1985), h. 88-95.

[19] Abu Hasan ali ibn ismail al-Asy’ari, Al-Luma fi Radd Ahl Ziyag wa al-Bida’ (Mesir: Matba’ah Munir, 1955), h. 69.

[20] Al-Baqillani, Kitab Tamhid al-Awa’il wa Talkhis al-Dala’il, (Beirut: Muassasat al-Kutub al-Saqafiyyah 1369 H). h. 323.

[21] Imam al-Haramain al-Juwaini, Kitab al-Irsyad al-Qawati’ al-Adillah fi Usul al-I’tiqad (Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1950), h. 258-259.

[22] Abd al-Rahman al- Badawiy, Mazahib al-Islamiyah(Beirut: Dar al-Islamiy al-Malayin, 1971), h.724-725.
[23] Sulaiman Dun-ya, al-Haqiqah fi Nazr al- Gazali(Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971), h. 19.
[24] Muhammad Yasin Nasution, Manusia menurut al-Gazali (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 129.
[25] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), h.83.

[26] Loc.cit, Muhammad Yasin Nasution, Manusia menurut al-Gazali (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 129.

3 komentar:

Posting Komentar

 
;