Oleh : ZAINAL ARIFIN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Membicarakan
masalah hubungan Agama dan Negara adalah sesuatu yang menarik, mengapa? Kita
tahu Agama dan Negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak
bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap
kehidupan sosial
bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu
yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan
agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Sebaliknya, Negara (pemerintah) sangat menentukan
terhadap perkembangan suatu agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap
hal yang berbau keagamaan sangat mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat
madani (civil society) seperti yang menjadi cita-cita kedua belah pihak.
Bila kebijakan Negara cenderung berpihak kepada salah satu agama tertentu, tak
ayal jika negara atau keadaan negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang
mengarah ke unsur sara.
Agama di negeri ini diposisikan pada tempat yang
sangat strategis. Sekalipun disebutkan bahwa Indonesia bukan sebagai negara
yang berdasarkan agama, tetapi pemerintah memberikan perhatian yang sedemikian
luas dan besar terhadap kehidupan beragama. Sejak lahir, pemerintah negeri ini
menunjuk satu departemen tersendiri yang bertugas melakukan pembinaan dan
pelayanan terhadap semua agama yang ada, yaitu Departemen Agama.
Lebih dari itu, pelaksanaan ritual agama pun
mendapatkan perhatian dan pelayanan dari pemerintah. Seperti misalnya
penyelenggaraan ibadah haji, puasa di bulan ramadhan, pemerintah ambil bagian
dalam penentuan awal dan akhir bulan ramadhan. Demikian pula pada peringatan
hari besar keagamaan, semua agama, dijadikan sebagai hari libur nasional.
Meski demikian, Negara dan agama merupakan persoalan
yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan
dikalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan mereka dalam
menerjemahkan agama sebagai bagian dari Negara atau Negara bagian dari dogma
agama.
Salah satu tokoh yang juga turut memberikan kontribusi
pemikiran tentang bagaimana seharusnya konsep relasi agama dan negara yakni Abdurahman
Wahid, yang sering disapa Gus Dur. Tokoh ini dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia maupun internasional karena sikap, tindakan, dan pandangan-pandangannya
yang kritis.
Sebagai seorang Muslim yang taat, Gus Dur mengabdikan
hidupnya bagi Islam lewat keterlibatannya dalam organisasi Nahdhatul Ulama
(NU). Pemahaman keislamannya mendorongnya untuk melampaui ikatan primordial
agama menuju suatu keterbukaan terhadap dunia. Gus Dur menampilkan
pemikiran-pemikiran kritis tentang kehidupan berbangsa, demokrasi, dan juga
terhadap agama-agama termasuk agamanya sendiri.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana biografi Abdurrahman Wahid
(Gus Dur)?
2.
Bagaiama pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang relasi agama dan
negara?
BAB II
PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA
A. Biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur
lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama lengkap
Abdurrahman ad-Dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri
agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatl Ulama
(NU), yaitu KH. Hasyim Asy’ari.
Sejak kecil, Gus Dur sudah diperkenalkan dengan cara
hidup di Pesantren Tebuireng, sebuah pesantren yang dibangun oleh Kiai Hasyim
Asy’ari, kakeknya. Di Pesaantren ia sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran
dan banyak puisi dalam bahasa arab.[1]
Ketika
ayahnya menjadi menteri agama, Gus Dur pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Gus Dur
mengenal banyak orang dari berbagai kalangan dan mulai mengenal musik klasik
Eropa. Di Jakarta, ia masuk Sekolah Dasar. Akan tetapi, Gus Dur tidak
menyelesaikan pendidikan lanjutnya di Sekolah Menegah Ekonomi Pertama (SMEP) karena gagal ujian naik kelas dua. Ia pun pindah ke Jogyakarta dan
tinggal di rumah Kiai Junaidi, yang adalah anggota Dewan Penasihat Agung Agama
(Majelis Tarjih) Muhammadiyah.[2] Di Yogyakarta, ia mulai menyukai film, menonton pertunjukkan wayang kulit,
membaca cerita novel-novel Cina, membaca surat-surat kabar, membaca
cerita-cerita perang dunia II, menaruh minat pada politik Amerika dan biografi
presiden-preiden Amerika Serikat. Ketika berpindah ke Magelang, ia mulai
membaca teori sosial para pemikir Eropa, bahkan menaruh minat pada pikiran kaum
Marxis.[3]
Ciri cinta akan ide-ide baru ini
membuat Gus Dur sampai pada pergulatan untuk menemukan identitas agamanya. Gus
Dur senantiasa berusaha untuk menemukan dalam Islam jawaban bagi
masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Oleh karena itu, ia
membaca karya para intelektual Islam termasuk ide-ide di balik organisasi
Ikhwanul Muslimin.[4]
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar
University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher
Islamic and Arabic Studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak
meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir.[5]
Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur
memutuskan untuk menghentikan studi di tengah jalan, ia beranggapan bahwa kairo
sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad Irak dan
mengambil fakultas sastra. Di sana ia mempelajari sastra Arab, Filsafat dan
teori sosial Eropa.[6]
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada
umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi
khazanah pemikiran sunni klasik.[7] Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal
menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi
khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut
berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan
pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh
penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang
kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.[8]
Jika dilacak, dari segi kultural,
Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia
pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate
dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras;
dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler.
Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi.
Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia
selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut.[9] Sehingga menurut hemat penulis, inilah barangkali
yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah
dipahami, alias kontroversi.
B.
Pemikiran Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) tentang relasi agama dan negara
Gagasan tentang
pola relasi agama dan
negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan
beberapa tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam
percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive
pada momen-momen tertentu.
Sejak Pancasila
dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh
Soekarno, Pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh
Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.[10]
Pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan
oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan
tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang
kembali pada tahun 1990 di negeri ini,
yakni mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah
karena masih belum adanya konsensus mengenai relasi Islam dan negara,[11] khususnya
mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah
berasaskan Islam atau sekuler.
Masalah
relasi agama dan negara merupakan salah satu hal
yang penting dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang
melakukan review terhadap pemikirannya. Secara garis besar bisa
dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi agama dan
negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan
antara agama dan negara.
Berbeda
dengan kelompok lain yang menginginkan Islam
dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus Dur sebaliknya, ia
menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya kalau agama diideologikan fungsinya akan
terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan
justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik
horizontal.[12]
Menurutnya,
ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam.[13] Pertama,
argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa daulah Islămiyyah (Islamic State) tidak pernah
disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat
yang berbunyi baldatun thayibatun wa rabbun gafûr, sebuah ayat
yang lebih pada konteks sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan
Tuhan. Atas dasar inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya
memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara. Nilai-nilai
kehidupan bangsa tidaklah harus diislamkan secara formal, melainkan dicarikan
titik persamaannya dengan nilai-nilai universal yang diikuti dan diakui seluruh
warga bangsa.[14]
Kedua,
argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam sejarah Islam
tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana suksesi dalam Islam.
Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama sepeninggalnya Rasulullah,
semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain, padahal
pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui
sistem kenegaraan. Selanjutnya, Nabi meninggalkan Madinah tanpa
ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Menurut Gus Dur, Islam tidak pernah menganjurkan pembentukan negara Islam.
Islam hanyalah sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang
negara.[15]
Selain
itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan Islam atau
agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa,
karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu
dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya
pluralitas merupakan hukum alam atau sunnatullah
di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik
sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam
kehidupan negara.[16]
Kenyataan yang perlu diperhatikan dalam memaknai Islam dan
mempertimbangkan realitas sosial masyarakatnya. Pemahaman ini beralasan,
pertama Islam sebagai agama tumbuh dan berkembang mengalami proses pergolakan
dengan realitas sosial kemasyarakatan dari negeri asalnya (Arab) hingga sampai ke negeri ini
(Indonesia). Perbedaan daerah memungkinkan adanya perbedaan dalam memaknainya,
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan kondisi sosial yang meniscayakan mengalami
perubahan. Kedua, dengan menyadari perbedaan, maka pertimbangan teks agama
dengan realitas kemasyarakan diharapkan mampu menghasilkan sebuah tafsir agama
yang tranformatif, inklusif dan mampu berpijak pada prinsip-prinsip kemanusiaan
sekaligus mampu menerima dan menghargai fluralitas umat.
Baginya
Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan keadilan. Oleh
karena itu, Gus Dur senatiasa menganjurkan agar Islam disebarkan oleh seorang
muslim melalui cara-cara yang mengedepankan sikap moderasi dan toleransi, bukan
cara-cara kekerasan dan intimidasi. Maka konsep Islam sebagai rahmatan
lil-‘ălamin bukanlah konsep mati, melainkan konsep dinamis yang menuntut
pemeluknya dalam konteks dialog beragama, bukan hanya menghargai yang lain,
tetapi juga memberikan perlindungan kepada yang lain.[17]
Pemaksaan
formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus Dur, merupakan
pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di negeri ini, padahal
dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme sangatlah dijunjung tinggi, bukan
malah menjadikan pemeluk agama lain menjadi warga negara kelas dua.[18]
Dalam hubungan relasi agama dan negara, Gus Dur senantiasa mengecam
upaya simbolisasi-formalistik atas agama dalam ranah bernegara. Agama harus
dimaknai dengan mendalam, yaitu menghadirkannya sebagai kekuatan moral negara,
bukan ideologi tertentu bagi kepentingan Negara.[19]
Berkaitan
dengan ideologi Pancasila, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila negara
Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus dimiliki
dan diperjuangkan.
Secara lebih
jauh, dalam tulisannya yang berjudul “Kebebasan Beragama dan Hegemoni
Negara”, Gus Dur memandang bahwa negara tidak harus berbentuk negara Islam,
yang penting tidak bertentangan dengan agama Islam.[20]
Dalam hal ini Gus Dur lebih memilih pola hubungan antara agama dan negara
terpisah, kerena masing-masing mempunyai otoritas tersendiri. Namun, negara
harus memberikan jaminan yang konkret. Upaya Gus Dur dalam pemikiran dan
politik menjadi peretas jalan penghubung antara masyarakat dan negara, dan pada
saat yang sama berhasil mendamaikan hubungan agama dan negara melalui konsep
Islam sebagai etika sosial, dan juga hubungan agama dan masyarakat melalui
konsep pribumisasi Islam.[21]
Gus Dur mendasarkan pemikirannya tentang konsepsi Islam dan negara dengan
menggunakan metode fungsionalisme (struktural). Sebab baginya, perumusan
hubungan yang tepat antara relasi agama dan negara harus menggunakan sudut
pandang fungsional.[22]
Yaitu keharusan membacanya dalam suatu kerangka bahwa antara agama dan negara
mempunyai fungsi sosial dalam masyarakat. Dengan begitu pola yang digunakan
Gus Dur adalah metode keseimbangan dengan menekankan pada terciptanya keharmonisan.
Sosialisasi pemikian Gus Dur sangat mudah dilakukan di era puncak
kekuasaan negeri ini di tampuknya, yaitu semenjak menjadi presiden Oktober 1999
– Juli 2001, karena dalam konteks ini ia memiliki otoritas dalam membuat
kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bangunan konsep yang telah ada
sebelumnya, yaitu mengenai hubungan agama dan negara.
Dapat dilihat dari berbagai kebijakan-kebijakannya, khususnya
terkait dengan hubungan agama dan negara, Gus Dur mencoba menghilangkan
keterlibatan agama dalam negara. Upaya ideologisasi bangsa dengan agama
tertentu harus dihilangkan dalam kehidupan kita.
Selain menolak diberlakukannya agama sebagai ”ideologi alternatif”, Gus Dur
juga menolak diberlakukannya agama sebagai sebuah suplemen (pelengkap) dalam negara,
yang justru akan mengakibatkan kecilnya penghargaan negara terhadap hak asasi
manusia dan tidak mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang
gerak bagi kebebasan berbicara dan berpendapat. Dengan posisiya yang bersifat
suplementer, hubungan agama dan negara justru akan bersifat manipulatif, yaitu
sekedar menyediakan simbol-simbol agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.[23]
Konkritisasi dari pemikiran Gus Dur ini, akhirnya secara praksis
tidak segan-segannya Gus Dur harus membela kelompok minoritas. Misalnya,
pembelaanya terhadap komunitas konghucu. Menurutnya, karena mereka memiliki hak
yang sama dalam dalam menentukan kebebasannya berkeyakinan dan mereka juga
memiliki komitmen serta berkontribusi besar bagi bangsa ini.[24]
Sementara, tentang kehidupan berbangsa kritisisme Gus Dur adalah
perjuangannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara utuh. Langkah ini memberi
arti agar proses kehidupan berbangsa senantiasa dilandasi dengan
prinsip-prinsip yang berpijak pada konstitusi negara, yaitu pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Maka tidak dibenarkan individu mengintimiasi,
mengeksploitasi serta memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebab jika
dipaksakan bukan hanya mengganggu integritas bangsa, tetapi juga berlawanan
dengan spirit nilai-nilai universalitas Islam yang menghargai perbedaan dan
menjunjung tinggi kebebasan umat dalam menetukan hidupnya.
Dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, maka antar masyarakat
akan hidup dengan harmoni dan menjadikan segala persoalan kemanusiaan sebagai
problem bersama, yang bersama pula harus dicarikan solusinya. Oleh sebab itu, Gus Dur seringkali mengingatkan bahwa
Pancasila dan UUD 1945 adalah ideologi bangsa yang harus mampu menjaga harmoni
dan kedamaian bagi keberlangsungan keberagaman bangsa ini agar setiap penganut
agama dan kepercayaan leluasa mengekpresikan keyakinannya, tanpa ada hak
individu yang melarangnya. Sehingga dengan demikian, bukanlah solusi terbaik
menjadikan agama sebagai ideologi negara sebab ideologi menimbulkan strategi
pemenuhan individu atau kelompok tertentu di satu pihak dan ada upaya
penggerusan terhadap kelompok dipihak yang berbeda.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diketahui beberapa hal pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
mengenai relasi agama dan negara sebagai berikut:
1.
Secara garis
besar bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi agama dan
negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan
antara agama dan negara. karena menurutnya,
kalau agama diideologikan fungsinya akan
terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan
justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik
horizontal. Dalam hal ini
Gus Dur lebih memilih pola hubungan antara agama dan negara terpisah, kerena
masing-masing mempunyai otoritas tersendiri. Namun, negara harus memberikan
jaminan yang konkret.
2. Negara tidak
boleh mengintervensi urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya
agama tidak perlu mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan
menguatkan eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan. Oleh karena itu, Gus
Dur senantiasa mengecam upaya simbolisasi-formalistik atas agama dalam ranah
bernegara. Agama harus dimaknai dengan mendalam, yaitu menghadirkannya sebagai
kekuatan moral negara, bukan ideologi tertentu bagi kepentingan negara
3.
Gus Dur memandang bahwa negara tidak harus berbentuk negara Islam, yang
penting tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
B.
Saran
Pemikiran Abdurrahman Wahid tersebut di
atas telah banyak memberikan kontribusi dan turut mewarnai kehidupan bangsa
ini. Diharapkan pembaca mampu menjadikan pemikiran Abdurrahman Wahid ini sebagai
pegangan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, karena pemikirannya
sangat ideal untuk diterapkan dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang
plural.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Qur’ăn al-Karîm
Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKIS, 2002.
al-Brebesy, Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien
Rais Tentang Negara, Jakarta: Raja Grafindo, 1999.
Bukhori Pahrurroji M., Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran
Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq, Bantul: Pondok Sanusi, 2003.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya Juz 1-30, Edisi Revisi, Surabaya: Karya Agung, 2006.
Hidayat, Komarudin dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing
Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan
Wakaf Paramadina, 2001.
Iskandar, A. Muhaimin, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta:
KLIK.R dan DPP PKB, 2007.
Malik, Dedy Djamaluddin dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru
Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia,
1998.
Masdar,
Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amien
Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Ramage, Douglas E., Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi,
Islam, dan Ideologi Toleransi, alih
bahasa Hartono Hadikusumo, Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002.
Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak
Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
..........., Mengurai Hubungan Agama Dan Negara, Jakarta: Raja
Grafindo, 1999.
..........., Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS, 1999.
..........., Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan,
Depok: Desantara, 2001.
Wasid, Gusdur Sang Guru Bangsa: Pergolakan Islam, Kemanusiaan
dan Kebangsaan, Yogyakarta: Interpena, 2010.
Zada, Khamami, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan,
(Jakarta: Lakpesdam, 2002), 122-123.
[1] Greg Barton, Biografi
Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS,
2002), h. 28.
[2] Pahrurroji M. Bukhori, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran
Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq (Bantul: Pondok Sanusi, 2003), h. 60-62.
[6] Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap
Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara (Jakarta:
Raja Grafindo, 1999), h. 99-100.
[7] Umaruddin Masdar, Membaca
Pikiran Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 121.
[9] Tim INCReS, Beyond The
Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), h.
39.
[10] Douglas E. Ramage, Percaturan
Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi (Jogjakarta:
Mata Bangsa, 2002), h. 2.
[11] Ibid., 19.
[12] Dedy Djamaluddin
Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan
Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin
Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 78.
[14]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Depok:
Desantara, 2001), h. 95.
[16] Umaruddin Masdar,.
Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), h. 129.
[17] Wasid, Gusdur
Sang Guru Bangsa: Pergolakan Islam, Kemanusiaan dan Kebangsaan (Yogyakarta:
Interpena, 2010), h. 103-104.
[20] Komarudin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over, Melintasi Batas Agama (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2001), h. 166.
[21]A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia (Yogyakarta:
KLIK.R dan DPP PKB, 2007), h. 25.
0 komentar:
Posting Komentar