Sabtu, 02 Mei 2015

RELASI AGAMA DAN NEGARA MENURUT ABDURRAHMAN WAHID


Oleh : ZAINAL ARIFIN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Membicarakan masalah hubungan Agama dan Negara adalah sesuatu yang menarik, mengapa? Kita tahu Agama dan Negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Sebaliknya, Negara (pemerintah) sangat menentukan terhadap perkembangan suatu agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan sangat mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat madani (civil society) seperti yang menjadi cita-cita kedua belah pihak. Bila kebijakan Negara cenderung berpihak kepada salah satu agama tertentu, tak ayal jika negara atau keadaan negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang mengarah ke unsur sara.
Agama di negeri ini diposisikan pada tempat yang sangat strategis. Sekalipun disebutkan bahwa Indonesia bukan sebagai negara yang berdasarkan agama, tetapi pemerintah memberikan perhatian yang sedemikian luas dan besar terhadap kehidupan beragama. Sejak lahir, pemerintah negeri ini menunjuk satu departemen tersendiri yang bertugas melakukan pembinaan dan pelayanan terhadap semua agama yang ada, yaitu Departemen Agama.
Lebih dari itu, pelaksanaan ritual agama pun mendapatkan perhatian dan pelayanan dari pemerintah. Seperti misalnya penyelenggaraan ibadah haji, puasa di bulan ramadhan, pemerintah ambil bagian dalam penentuan awal dan akhir bulan ramadhan. Demikian pula pada peringatan hari besar keagamaan, semua agama, dijadikan sebagai hari libur nasional.
Meski demikian, Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan mereka dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari Negara atau Negara bagian dari dogma agama.
Salah satu tokoh yang juga turut memberikan kontribusi pemikiran tentang bagaimana seharusnya konsep relasi agama dan negara yakni Abdurahman Wahid, yang sering disapa Gus Dur. Tokoh ini dikenal luas oleh masyarakat Indonesia maupun internasional karena sikap, tindakan, dan pandangan-pandangannya yang kritis.
Sebagai seorang Muslim yang taat, Gus Dur mengabdikan hidupnya bagi Islam lewat keterlibatannya dalam organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Pemahaman keislamannya mendorongnya untuk melampaui ikatan primordial agama menuju suatu keterbukaan terhadap dunia. Gus Dur menampilkan pemikiran-pemikiran kritis tentang kehidupan berbangsa, demokrasi, dan juga terhadap agama-agama termasuk agamanya sendiri.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur)?
2.      Bagaiama pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang relasi agama dan negara?

BAB II
PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA

A.    Biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama lengkap Abdurrahman ad-Dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatl Ulama (NU), yaitu KH. Hasyim Asy’ari.
Sejak kecil, Gus Dur sudah diperkenalkan dengan cara hidup di Pesantren Tebuireng, sebuah pesantren yang dibangun oleh Kiai Hasyim Asy’ari, kakeknya. Di Pesaantren ia sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab.[1]
Ketika ayahnya menjadi menteri agama, Gus Dur pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Gus Dur mengenal banyak orang dari berbagai kalangan dan mulai mengenal musik klasik Eropa. Di Jakarta, ia masuk Sekolah Dasar. Akan tetapi, Gus Dur tidak menyelesaikan pendidikan lanjutnya di Sekolah Menegah Ekonomi Pertama (SMEP) karena gagal ujian naik kelas dua. Ia pun pindah ke Jogyakarta dan tinggal di rumah Kiai Junaidi, yang adalah anggota Dewan Penasihat Agung Agama (Majelis Tarjih) Muhammadiyah.[2] Di Yogyakarta, ia mulai menyukai film, menonton pertunjukkan wayang kulit, membaca cerita novel-novel Cina, membaca surat-surat kabar, membaca cerita-cerita perang dunia II, menaruh minat pada politik Amerika dan biografi presiden-preiden Amerika Serikat. Ketika berpindah ke Magelang, ia mulai membaca teori sosial para pemikir Eropa, bahkan menaruh minat pada pikiran kaum Marxis.[3]
Ciri cinta akan ide-ide baru ini membuat Gus Dur sampai pada pergulatan untuk menemukan identitas agamanya. Gus Dur senantiasa berusaha untuk menemukan dalam Islam jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Oleh karena itu, ia membaca karya para intelektual Islam termasuk ide-ide di balik organisasi Ikhwanul Muslimin.[4]
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic Studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir.[5]
Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi di tengah jalan, ia beranggapan bahwa kairo sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad Irak dan mengambil fakultas sastra. Di sana ia mempelajari sastra Arab, Filsafat dan teori sosial Eropa.[6]
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik.[7] Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.[8]
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut.[9] Sehingga menurut hemat penulis, inilah barangkali yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.
B.     Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang relasi agama dan negara
Gagasan tentang pola relasi agama dan negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu.
Sejak Pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, Pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.[10] Pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada  tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah karena masih belum adanya konsensus mengenai relasi Islam dan negara,[11] khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler.
Masalah relasi agama dan negara merupakan salah satu hal yang penting dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan review terhadap pemikirannya. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi agama dan negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan negara.
Berbeda dengan kelompok lain yang menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya kalau agama diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik horizontal.[12]
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam.[13] Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa daulah Islămiyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi baldatun thayibatun wa rabbun gafûr, sebuah ayat yang lebih pada konteks sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara. Nilai-nilai kehidupan bangsa tidaklah harus diislamkan secara formal, melainkan dicarikan titik persamaannya dengan nilai-nilai universal yang diikuti dan diakui seluruh warga bangsa.[14]
Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain, padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan. Selanjutnya, Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Menurut Gus Dur, Islam tidak pernah menganjurkan pembentukan negara Islam. Islam hanyalah sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara.[15]
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum alam atau sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.[16]
Kenyataan yang perlu diperhatikan dalam memaknai Islam dan mempertimbangkan realitas sosial masyarakatnya. Pemahaman ini beralasan, pertama Islam sebagai agama tumbuh dan berkembang mengalami proses pergolakan dengan realitas sosial kemasyarakatan dari negeri asalnya  (Arab) hingga sampai ke negeri ini (Indonesia). Perbedaan daerah memungkinkan adanya perbedaan dalam memaknainya, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan kondisi sosial yang meniscayakan mengalami perubahan. Kedua, dengan menyadari perbedaan, maka pertimbangan teks agama dengan realitas kemasyarakan diharapkan mampu menghasilkan sebuah tafsir agama yang tranformatif, inklusif dan mampu berpijak pada prinsip-prinsip kemanusiaan sekaligus mampu menerima dan menghargai fluralitas umat.
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan keadilan. Oleh karena itu, Gus Dur senatiasa menganjurkan agar Islam disebarkan oleh seorang muslim melalui cara-cara yang mengedepankan sikap moderasi dan toleransi, bukan cara-cara kekerasan dan intimidasi. Maka konsep Islam sebagai rahmatan lil-‘ălamin bukanlah konsep mati, melainkan konsep dinamis yang menuntut pemeluknya dalam konteks dialog beragama, bukan hanya menghargai yang lain, tetapi juga memberikan perlindungan kepada yang lain.[17]
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain menjadi warga negara kelas dua.[18]
Dalam hubungan relasi agama dan negara, Gus Dur senantiasa mengecam upaya simbolisasi-formalistik atas agama dalam ranah bernegara. Agama harus dimaknai dengan mendalam, yaitu menghadirkannya sebagai kekuatan moral negara, bukan ideologi tertentu bagi kepentingan Negara.[19]
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila negara Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus dimiliki dan diperjuangkan.
Secara lebih jauh, dalam tulisannya yang berjudul  “Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara”, Gus Dur memandang bahwa negara tidak harus berbentuk negara Islam, yang penting tidak bertentangan dengan agama Islam.[20] Dalam hal ini Gus Dur lebih memilih pola hubungan antara agama dan negara terpisah, kerena masing-masing mempunyai otoritas tersendiri. Namun, negara harus memberikan jaminan yang konkret. Upaya Gus Dur dalam pemikiran dan politik menjadi peretas jalan penghubung antara masyarakat dan negara, dan pada saat yang sama berhasil mendamaikan hubungan agama dan negara melalui konsep Islam sebagai etika sosial, dan juga hubungan agama dan masyarakat melalui konsep pribumisasi Islam.[21]
Gus Dur mendasarkan pemikirannya tentang konsepsi Islam dan negara dengan menggunakan metode fungsionalisme (struktural). Sebab baginya, perumusan hubungan yang tepat antara relasi agama dan negara harus menggunakan sudut pandang fungsional.[22] Yaitu keharusan membacanya dalam suatu kerangka bahwa antara agama dan negara mempunyai fungsi sosial dalam masyarakat. Dengan begitu pola yang digunakan Gus Dur adalah metode keseimbangan dengan menekankan pada terciptanya keharmonisan.
Sosialisasi pemikian Gus Dur sangat mudah dilakukan di era puncak kekuasaan negeri ini di tampuknya, yaitu semenjak menjadi presiden Oktober 1999 – Juli 2001, karena dalam konteks ini ia memiliki otoritas dalam membuat kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bangunan konsep yang telah ada sebelumnya, yaitu mengenai hubungan agama dan negara.
Dapat dilihat dari berbagai kebijakan-kebijakannya, khususnya terkait dengan hubungan agama dan negara, Gus Dur mencoba menghilangkan keterlibatan agama dalam negara. Upaya ideologisasi bangsa dengan agama tertentu harus dihilangkan dalam kehidupan kita.
Selain menolak diberlakukannya agama sebagai ”ideologi alternatif”, Gus Dur juga menolak diberlakukannya agama sebagai sebuah suplemen (pelengkap) dalam negara, yang justru akan mengakibatkan kecilnya penghargaan negara terhadap hak asasi manusia dan tidak mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak bagi kebebasan berbicara dan berpendapat. Dengan posisiya yang bersifat suplementer, hubungan agama dan negara justru akan bersifat manipulatif, yaitu sekedar menyediakan simbol-simbol agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.[23]
Konkritisasi dari pemikiran Gus Dur ini, akhirnya secara praksis tidak segan-segannya Gus Dur harus membela kelompok minoritas. Misalnya, pembelaanya terhadap komunitas konghucu. Menurutnya, karena mereka memiliki hak yang sama dalam dalam menentukan kebebasannya berkeyakinan dan mereka juga memiliki komitmen serta berkontribusi besar bagi bangsa ini.[24]
Sementara, tentang kehidupan berbangsa kritisisme Gus Dur adalah perjuangannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara utuh. Langkah ini memberi arti agar proses kehidupan berbangsa senantiasa dilandasi dengan prinsip-prinsip yang berpijak pada konstitusi negara, yaitu pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Maka tidak dibenarkan individu mengintimiasi, mengeksploitasi serta memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebab jika dipaksakan bukan hanya mengganggu integritas bangsa, tetapi juga berlawanan dengan spirit nilai-nilai universalitas Islam yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi kebebasan umat dalam menetukan hidupnya.
Dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, maka antar masyarakat akan hidup dengan harmoni dan menjadikan segala persoalan kemanusiaan sebagai problem bersama, yang bersama pula harus dicarikan solusinya. Oleh sebab itu,  Gus Dur seringkali mengingatkan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah ideologi bangsa yang harus mampu menjaga harmoni dan kedamaian bagi keberlangsungan keberagaman bangsa ini agar setiap penganut agama dan kepercayaan leluasa mengekpresikan keyakinannya, tanpa ada hak individu yang melarangnya. Sehingga dengan demikian, bukanlah solusi terbaik menjadikan agama sebagai ideologi negara sebab ideologi menimbulkan strategi pemenuhan individu atau kelompok tertentu di satu pihak dan ada upaya penggerusan terhadap kelompok dipihak yang berbeda.
 
BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui beberapa hal pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai relasi agama dan negara sebagai berikut:
1.      Secara garis besar bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi agama dan negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan negara. karena menurutnya, kalau agama diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik horizontal. Dalam hal ini Gus Dur lebih memilih pola hubungan antara agama dan negara terpisah, kerena masing-masing mempunyai otoritas tersendiri. Namun, negara harus memberikan jaminan yang konkret.
2.     Negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan. Oleh karena itu, Gus Dur senantiasa mengecam upaya simbolisasi-formalistik atas agama dalam ranah bernegara. Agama harus dimaknai dengan mendalam, yaitu menghadirkannya sebagai kekuatan moral negara, bukan ideologi tertentu bagi kepentingan negara
3.      Gus Dur memandang bahwa negara tidak harus berbentuk negara Islam, yang penting tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
B.     Saran
Pemikiran Abdurrahman Wahid tersebut di atas telah banyak memberikan kontribusi dan turut mewarnai kehidupan bangsa ini. Diharapkan pembaca mampu menjadikan pemikiran Abdurrahman Wahid ini sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, karena pemikirannya sangat ideal untuk diterapkan dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang plural.

DAFTAR PUSTAKA


al-Qur’ăn al-Karîm

Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKIS, 2002.

al-Brebesy, Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara, Jakarta: Raja Grafindo, 1999.

Bukhori Pahrurroji M., Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq, Bantul: Pondok Sanusi, 2003.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30, Edisi Revisi, Surabaya: Karya Agung, 2006.

Hidayat, Komarudin dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2001.

Iskandar, A. Muhaimin, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta: KLIK.R dan DPP PKB, 2007.

Malik, Dedy Djamaluddin dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.

Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ramage, Douglas E., Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi,  alih bahasa Hartono Hadikusumo, Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002.

Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.

Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

..........., Mengurai Hubungan Agama Dan Negara, Jakarta: Raja Grafindo, 1999.

..........., Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS, 1999.

..........., Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001.

Wasid, Gusdur Sang Guru Bangsa: Pergolakan Islam, Kemanusiaan dan Kebangsaan, Yogyakarta: Interpena, 2010.

Zada, Khamami, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), 122-123.



 
 


[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS, 2002), h. 28.
[2] Pahrurroji M. Bukhori, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq (Bantul: Pondok Sanusi, 2003), h. 60-62.

[3] Greg Barton,  Op.,cit., h.  41-56.

`                       [4] Ibid., h. 57.

[5] Ibid., h. 87-99.

[6] Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), h. 99-100.

[7] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 121.

[8] Ibid, h. 126.

[9] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 39.

[10] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi (Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 2.

[11] Ibid., 19.
[12] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 78.

[13] Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: Lakpesdam, 2002), h. 122-123.

[14] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), h. 95.

[15] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 81.

[16] Umaruddin Masdar,. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 129.
[17] Wasid, Gusdur Sang Guru Bangsa: Pergolakan Islam, Kemanusiaan dan Kebangsaan (Yogyakarta: Interpena, 2010), h. 103-104.
[18] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), h. 169.

[19] Wasid, Op.,cit., h. 95.

[20] Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over, Melintasi Batas Agama (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2001), h. 166.

[21]A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia (Yogyakarta: KLIK.R dan DPP PKB, 2007), h. 25.

[22]Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), h. 74.
[23] Abdurrahman Wahid, Op. Cit., h. 249.

[24] Wasid, Wasid, Op.,cit., h. 95-96
 


0 komentar:

Posting Komentar

 
;